Khotbah GMIM
MENU
Khotbah Amsal 31:10-31 | MTPJ GMIM 23 - 29 November 2025 - Khotbah GMIM

Khotbah Amsal 31:10-31 | MTPJ GMIM 23 - 29 November 2025

Istri Yang Takut Akan Tuhan

Amsal 31:10-31

Istri Yang Takut Akan Tuhan

Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,

Saat ini kita akan merenungkan bersama sebuah puisi indah yang mengakhiri Kitab Amsal, sebuah syair yang telah menginspirasi umat Tuhan selama ribuan tahun. Amsal 31:10-31 berbicara bukan sekadar daftar pekerjaan rumah tangga atau manual menjadi istri yang sempurna. Namun ini adalah potret hidup yang diubahkan oleh takut akan Tuhan, sebuah gambaran tentang bagaimana hikmat ilahi mengalir ke dalam setiap aspek kehidupan kita. Ketika penulis kitab ini bertanya, "Isteri yang cakap, siapakah akan mendapatkannya?", ia sedang mengajak kita melihat sesuatu yang jauh lebih berharga dari permata, sesuatu yang langka namun transformatif bagi keluarga, jemaat dan masyarakat.

Mari kita mulai dengan memahami istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Kata "cakap" dalam teks Ibrani adalah chayil, sebuah kata yang sangat kaya makna. Ini bukan tentang kesempurnaan estetis atau kepatuhan pasif. Chayil berbicara tentang kekuatan, kemampuan, keberanian, bahkan keperkasaan. Ini adalah kata yang sama digunakan untuk menggambarkan pahlawan perang! Bayangkan, teks suci kita menggambarkan seorang istri dengan kata yang biasanya dipakai untuk prajurit yang perkasa. Ini adalah pergeseran paradigma yang radikal. Nilai seorang wanita tidak terletak pada penampilannya yang menarik atau statusnya di masyarakat, tetapi pada kekuatan karakternya, pada kapasitasnya untuk menghasilkan, mengelola, dan memengaruhi dunia di sekitarnya. Inilah yang membuat teks ini begitu relevan bagi kita hari ini, di tengah budaya yang terus-menerus mendefinisikan nilai seseorang berdasarkan hal-hal yang fana dan superfisial.

Namun sebelum kita terpesona oleh semua pencapaian praktis yang akan kita baca, kita harus memahami rahasianya terlebih dahulu. Ayat 30 adalah kunci untuk membuka seluruh perikop ini. Di sana tertulis dengan jelas: "Kecantikan adalah tipuan dan kerupawanan adalah kesia-siaan, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji." Inilah klimaks teologis dari seluruh narasi. Segala sesuatu yang kita baca tentang wanita ini—ketekunannya, kecerdasannya, kemampuan bisnisnya, kepeduliannya terhadap orang miskin—semuanya mengalir dari satu sumber: takut akan Tuhan. Kata "kesia-siaan" di sini adalah hevel, kata yang sama digunakan dalam Kitab Pengkhotbah untuk menggambarkan sesuatu yang seperti uap, sesuatu yang menghilang begitu saja. Kecantikan fisik akan pudar, tubuh akan menua, tetapi karakter yang dibangun di atas fondasi takut akan Tuhan adalah sesuatu yang kekal, sesuatu yang terus bertumbuh dan menghasilkan buah bahkan ketika rambut memutih dan kulit berkerut.

Saudara-saudari yang terkasih, apa artinya takut akan Tuhan dalam konteks kehidupan sehari-hari? Ini bukan tentang ketakutan yang melumpuhkan, melainkan tentang rasa hormat yang mendalam, kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap keputusan, dalam setiap percakapan, dalam setiap aspek hidup kita. Takut akan Tuhan berarti hidup dengan integritas ketika tidak ada yang melihat, bekerja dengan kesetiaan seolah-olah Kristus sendiri adalah majikan kita, bagi para istri berarti mengasihi suami sebagaimana Kristus mengasihi gereja. Inilah yang membuat suaminya dapat sepenuhnya mempercayainya. Ayat 11 mengatakan bahwa hati suaminya percaya kepadanya, dan ia tidak akan mengalami kerugian. Kepercayaan ini bukan dibangun dalam semalam. Ini adalah hasil dari konsistensi karakter, dari kesetiaan yang telah terbukti berulang kali. Ia mendatangkan kebaikan, bukan kerugian, sepanjang hidupnya. Bukankah ini adalah fondasi dari setiap hubungan yang sehat? Kepercayaan yang lahir dari integritas, rasa aman yang berakar pada kesetiaan yang telah teruji oleh waktu.

Namun takut akan Tuhan tidak membuat wanita ini menjadi pribadi yang pasif atau terpenjara dalam batasan-batasan yang sempit. Justru sebaliknya! Perhatikan bagaimana ia digambarkan sebagai sosok yang sangat aktif, produktif, dan kreatif. Ia mencari bulu domba dan rami, dan mengerjakannya dengan senang hati. Ia seperti kapal-kapal saudagar yang membawa makanan dari tempat yang jauh. Bayangkan seorang istri di zaman Alkitab yang berpikir strategis tentang penyediaan keluarganya, yang tidak hanya bekerja keras tetapi bekerja cerdas. Ia bangun sebelum fajar untuk menyediakan makanan bagi keluarganya dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya. Ini adalah gambaran kepemimpinan, manajemen yang efektif, perencanaan yang matang. Lebih luar biasa lagi, ia membeli ladang dari hasil pendapatannya dan menanaminya. Ini bukan sekadar berkebun untuk hobi. Ini adalah keputusan investasi yang serius! Ia terlibat dalam perdagangan, membuat pakaian lenan dan menjualnya, menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang Kanaan. Saudara-saudari, ini adalah seorang pengusaha dalam arti yang sesungguhnya!

Mungkin ada yang bertanya, "Bukankah ini terlalu berat? Bukankah standar ini tidak realistis untuk wanita modern yang sudah memiliki begitu banyak tanggung jawab?" Mari kita pahami konteks yang tepat. Teks ini adalah puisi akrostik, setiap ayat dimulai dengan huruf berurutan dari abjad Ibrani. Ini adalah cara sastra untuk mengatakan, "Dari A sampai Z, inilah gambaran lengkap tentang apa yang bisa dicapai oleh kehidupan yang diberdayakan oleh takut akan Tuhan." Ini bukan daftar yang harus diselesaikan setiap hari oleh setiap wanita. Ini adalah potret ideal yang menginspirasi kita untuk melihat potensi penuh dari kehidupan yang diserahkan kepada Allah. Beberapa wanita mungkin dipanggil untuk kewirausahaan, yang lain untuk profesi medis, pendidikan, seni, atau pelayanan penuh waktu. Yang penting bukan meniru setiap detail, melainkan menangkap prinsip-prinsip yang mendasarinya: ketekunan, kreativitas, tanggung jawab, dan yang terpenting, takut akan Tuhan yang menjadi motor penggerak dari semua aktivitas kita.

Yang sangat menyentuh hati adalah bahwa di tengah kesibukan wirausahanya, ia tidak melupakan mereka yang lemah. Ayat 20 mengatakan bahwa ia mengulurkan tangannya kepada yang tertindas dan tangannya ia berikan kepada orang miskin. Inilah bukti bahwa kekayaan dan kesuksesan tidak membuatnya menjadi egois atau terisolasi dalam dunianya sendiri. Takut akan Tuhan selalu menghasilkan belas kasihan. Ketika kita benar-benar memahami kasih karunia Allah kepada kita, kita tidak bisa tidak mengasihi sesama kita. Kepedulian sosialnya ini bukan sekadar derma sesekali, tetapi gaya hidup yang konsisten. Tangannya—tangan yang sama yang bekerja keras, yang menenun, yang menghitung keuntungan—adalah tangan yang terbuka bagi yang membutuhkan. Bukankah ini adalah gambaran Injil yang hidup? Kita diberkati untuk menjadi berkat. Kita menerima untuk memberi. Kita dikasihi agar kita mengasihi.

Ayat 25 memberikan kita gambaran tentang kekuatan batinnya: "Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, dan ia tertawa tentang hari depan." Ini bukan optimisme buta atau kepercayaan diri yang palsu. Ia bisa tertawa menghadapi masa depan karena ia telah mempersiapkan diri. Ia telah memastikan bahwa keluarganya memiliki pakaian rangkap untuk musim dingin. Ia telah berinvestasi dengan bijaksana. Ia telah membangun fondasi yang kokoh. Tetapi lebih dari semua persiapan praktis itu, ia memiliki keyakinan yang berakar pada Allah. Inilah keseimbangan yang indah antara tanggung jawab manusia dan kepercayaan kepada Allah. Kita bekerja seolah-olah semuanya bergantung pada kita, namun kita percaya seolah-olah semuanya bergantung pada Allah. Kekuatan dan kemuliaan yang ia kenakan bukan berasal dari pakaian mewah atau perhiasan mahal, melainkan dari karakter yang telah diperkuat melalui ujian, dari integritas yang telah terbukti, dari iman yang telah teruji.

Ketika ia membuka mulutnya, ia berbicara dengan hikmat, dan pengajaran kasih ada di lidahnya. Ini adalah aspek lain yang sangat penting. Ia bukan hanya pekerja keras atau pengusaha sukses. Ia adalah guru, mentor, pembimbing spiritual bagi keluarganya. Kata-katanya dipilih dengan bijaksana. Pengajarannya didasarkan pada kasih, bukan manipulasi atau kritik yang merusak. Dalam dunia di mana kata-kata sering digunakan untuk melukai, menghakimi, atau menghancurkan, betapa menyegarkan melihat seseorang yang kata-katanya membawa hikmat dan kasih. Dampak dari kehidupannya yang konsisten ini terlihat jelas dalam ayat 28: anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia, suaminya memuji dia. Ini adalah warisan sejati yang ia tinggalkan. Bukan harta benda atau properti, melainkan anak-anak yang menghormatinya, suami yang menghargainya, karakter yang telah ditanamkan dalam generasi berikutnya.

Bahkan reputasinya meluas ke luar rumah. Suaminya dikenal di pintu gerbang kota, tempat para pemimpin berkumpul. Kesuksesan istri berkontribusi pada kehormatan suami. Ini bukan tentang kompetisi atau siapa yang lebih unggul, melainkan tentang sinergi, tentang bagaimana pasangan yang saling mendukung mengangkat satu sama lain. Keberhasilan satu adalah keberhasilan yang lain. Kehormatan satu adalah kehormatan bersama. Inilah gambaran pernikahan Kristen yang sehat, di mana suami dan istri adalah rekan sekerja dalam membangun kerajaan Allah, bukan pesaing yang berjuang untuk dominasi.

Ayat penutup memberikan perintah yang jelas: "Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang." Ini adalah panggilan untuk pengakuan dan penghargaan. Kerja keras, dedikasi, dan kontribusi istri harus diakui, tidak hanya di dalam rumah tetapi juga di ruang publik. Di tengah budaya yang sering mengabaikan atau meremehkan kontribusi perempuan, teks ini menuntut pengakuan yang adil. Perbuatannya berbicara sendiri, tetapi kita juga dipanggil untuk memberikan apresiasi yang pantas.

Saudara-saudari yang terkasih, Amsal 31 bukanlah cambuk untuk membuat kita merasa tidak cukup baik. Ini adalah visi tentang apa yang mungkin ketika hidup kita berakar pada takut akan Tuhan. Bagi para istri di sini, kiranya ini menginspirasi bukan membebani. Bagi para suami, kiranya ini mengajar kita untuk menghargai, mendukung, dan memuji istri kita. Bagi kita semua, kiranya ini mengingatkan bahwa nilai sejati datang bukan dari apa yang terlihat di luar, melainkan dari karakter yang dibentuk oleh Roh Kudus, dari kehidupan yang diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Marilah kita hidup dengan integritas, bekerja dengan kesetiaan, mengasihi dengan kelimpahan, dan mempercayai Allah dengan segala masa depan kita. Karena kehidupan yang takut akan Tuhan pasti akan diberkati dan dihormati, bukan hanya di dunia ini, tetapi dalam kekekalan. Amin.