Peroleh dan Peliharalah Hikmat
Saudara dan saudari yang terkasih dalam Kristus,
Marilah kita memulai pertemuan kita hari ini dengan sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam: Apa sebenarnya yang paling berharga dalam hidup Anda? Ketika kita memejamkan mata dan merenungkan dalam keheningan, apa yang pertama kali hadir? Apakah itu kesuksesan finansial yang gemilang? Posisi prestis di tempat kerja? Rumah impian dengan segala kemewahnya? Atau mungkin kita langsung berpikir tentang orang-orang yang kita cintai, hubungan-hubungan berharga yang membangun kehidupan kita? Namun, ada sesuatu yang lebih fundamental, lebih eternal, yang sering kali kita lewatkan dalam hiruk pikuk kehidupan modern. Inilah yang hendak disampaikan kepada kita melalui ayat-ayat yang akan kita renungkan hari ini.
Kitab Amsal 4:1-9 membuka dengan suara yang tegas dan penuh otoritas: "Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah." Perintah ini bukan sekadar ajakan santai untuk mendengarkan dengan telinga saja, tetapi merupakan seruan mendalam untuk merekam dalam hati, untuk menerima dengan sepenuh jiwa. Salomo, penulis kebijaksanaan ini, menggunakan nada seorang ayah yang penuh kasih sayang namun juga sangat serius. Dia tidak hanya berbicara dari pemikirannya, tetapi dari pengalaman hidupnya sendiri yang kaya. Dia mengingat ketika dirinya adalah seorang anak muda yang duduk di kaki ayahnya, Raja Daud, mendengarkan nasihat berharga tentang cara hidup yang benar. Kini, dengan penuh tanggungjawab, dia meneruskan warisan itu kepada anak-anaknya, dan melalui Kitab Amsal, kepada kita semua.
Mari kita perhatikan dengan seksama apa yang dia tawarkan sebagai janji: "peganglah perkataanku, simpanlah perintahku dalam hatimu, maka engkau akan hidup." Tahukah Anda apa arti "hidup" di sini? Bukan sekadar tarikan napas, bukan hanya kehadiran fisik di dunia ini. Ketika Salomo berbicara tentang kehidupan, dia berbicara tentang kehidupan sejati—kehidupan yang dirayakan, kehidupan yang bermakna, kehidupan yang penuh dengan kedamaian sejati, apa yang disebut oleh budaya Israel sebagai "shalom." Ini adalah kehidupan yang berhasil, yang bahagia, yang sejalan dengan cara Allah. Kehidupan yang memuaskan—tidak hanya untuk sekarang, tetapi untuk selamanya.
Saudara saudari, dalam dunia kita yang terus bergerak cepat, di mana media sosial menjanjikan kebahagiaan instan dan dunia bisnis menjanjikan kesuksesan melalui ambisi tanpa henti, Salomo mengajak kita menghentikan langkah dan mendengarkan suara yang berbeda. Suara yang berbicara tentang hikmat. Suara yang berbicara tentang nilai sejati.
Inilah mengapa ayat-ayat berikutnya sangat mencolok dan bahkan mengagetkan bagi telinga kita yang modern. Dalam Amsal 4:5-7, Salomo berbicara dengan tekanan yang luar biasa: "Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian... dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian." Lalu sampai pada puncaknya, ayat 7 yang merupakan deklarasi tegas: "Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian."
Dengarkan dengan baik. Ini bukan tentang hobi sampingan. Ini bukan tentang menambahkan kursus kebijaksanaan ke dalam jadwal Anda yang sudah penuh. Ini adalah tentang mengalokasikan seluruh investasi kehidupan Anda—semua waktu, energi, sumber daya, dan perhatian Anda—untuk mengejar hikmat sebagai prioritas tertinggi. Bayangkan ini sebagai membeli saham terbesar Anda dengan semua kekayaan yang Anda miliki. Kita sedang berbicara tentang komitmen total, radikal, yang mengubah seluruh orientasi hidup.
Apakah ini berbicara kepada hati Anda? Khususnya kepada kita yang hidup di era digital ini, di mana kita terus-menerus didesak untuk mengumpulkan lebih banyak—lebih banyak uang, lebih banyak penghargaan, lebih banyak likes di media sosial, lebih banyak gadget, lebih banyak pengalaman Instagram-worthy? Amsal 4:7 datang seperti air dingin yang menyegarkan, mengatakan: Tidak. Yang pertama, yang paling penting, adalah hikmat.
Tetapi apa sebenarnya hikmat itu? Dalam tradisi kebijaksanaan Israel, hikmat bukan sekadar pengetahuan akademis atau informasi yang tersimpan di otak kita. Hikmat adalah kemampuan untuk melihat dunia dari perspektif ilahi, untuk memahami bagaimana Allah bekerja, dan kemudian menerapkan pemahaman itu dalam tindakan praktis sehari-hari kita. Pengertian, saudara, melengkapi hikmat itu. Jika hikmat adalah visi besar, pengertian adalah kemampuan untuk membedakan, untuk menilai, untuk mengetahui kapan harus berbelok kanan atau kiri, kapan harus berkata "ya" dan kapan harus berkata "tidak."
Sekarang, mari kita bergerak ke bagian yang mungkin paling indah dan paling menghibur dari ayat-ayat ini. Amsal 4:6-9 memberikan kepada kita gambar yang menakjubkan tentang apa yang terjadi ketika kita benar-benar memeluk hikmat dan menjadikannya prioritas kita.
Hikmat di sini dipersonifikasikan. Dia bukan sekadar konsep abstrak yang menggantung di udara. Dia adalah seseorang, seorang sahabat, seorang pelindung. Salomo berkata: "Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya." Mendengar kata-kata ini, saya teringat pada suatu pagi ketika saya sedang berjalan ke kantor dengan pikiran yang berat dengan keputusan sulit. Seakan-akan ada suara lembut yang berbisik dalam hati saya: Apa yang akan hikmat lakukan dalam situasi ini? Dan tiba-tiba, kejelasan muncul. Bukan seperti petir dari langit, tetapi seperti cahaya pagi yang secara bertahap menerangi jalan. Itu adalah pengalaman dipelihara dan dijaga oleh hikmat.
Tahukan Anda hubungan yang digambarkan di sini? Kasihilah dia—ini adalah bahasa cinta, bahasa loyalitas mendalam, bahasa perjanjian dengan Allah. Ini adalah bahasa yang sama yang digunakan dalam Ulangan 6:5 ketika kita diperintahkan untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan kita. Amsal secara halus mengajari kita bahwa mencintai hikmat adalah cara kita mengekspresikan cinta kita kepada Tuhan. Adalah cara kita menjalani kesetiaan perjanjian dengan Allah.
Kemudian Salomo melanjutkan dengan janji yang semakin besar. "Junjunglah dia, maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikan terhormat, apabila engkau memeluknya." Bayangkan apa artinya ini. Ketika kita menempatkan hikmat di posisi tertinggi dalam hidup kita, ketika kita menunjukkan kehormatan kepadanya, Hikmat itu sendiri akan meninggikan kita. Dia akan memberi kita martabat sejati, bukan martabat yang bersumber dari gelar pekerjaan atau jumlah di rekening bank kita, tetapi kehormatan yang berasal dari integritas moral dan kebijaksanaan hidup.
Lalu datanglah puncaknya, klimaks yang indah dari janji-janji ini, dalam ayat 9: "Ia akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, mahkota yang indah akan dikaruniakannya kepadamu." Karangan bunga dan mahkota—ini adalah simbol kejayaan, status sejati, dan kemenangan. Bukan kemenangan yang bersifat temporal dan hilang ketika waktu berlalu, tetapi kemenangan yang bersifat spiritual dan kekal. Ini adalah mahkota kehidupan.
Sekarang, saudara dan saudari, izinkan saya untuk membawa ini lebih dekat ke rumah kita, ke konteks kita sebagai orang Kristen modern di abad dua puluh satu. Amsal 4:1-9 berbicara dengan kuat tentang peran ayah dalam keluarga, tentang transmisi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam masyarakat kita, saya melihat krisis yang mendalam. Banyak ayah—termasuk mungkin beberapa dari kita—telah terjebak dalam paradigma bahwa tanggung jawab utama mereka adalah memberikan jaminan finansial kepada keluarga. Mereka bekerja lembur, membangun karir, mengumpulkan kekayaan, dengan itikad baik berharap ini adalah bentuk kasih sayang mereka kepada anak-anak dan istri mereka.
Tetapi Amsal 4:7 datang dan mengatakan dengan tegas: Itu salah. Atau lebih tepatnya, itu tidak cukup. Sepenuhnya tidak cukup. Karena ketika seorang ayah berinvestasi sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan finansial sambil mengabaikan pembinaan spiritual dan karakter anak, dia telah membuat kesalahan investasi yang fatal. Dia telah menginvestasikan semuanya dalam mata uang yang salah, meninggalkan warisannya yang paling berharga—warisan nilai, warisan hikmat—dalam keadaan gagal.
Saya memahami tantangan ini. Saya mengerti tekanan untuk memberikan yang terbaik secara material. Tetapi Amsal 4:1-4 dengan jelas mengajarkan bahwa anak-anak kami membutuhkan lebih dari itu. Mereka membutuhkan ayah mereka, atau ibu mereka, untuk duduk dengan mereka, untuk berbicara kepada mereka, untuk mengajarkan mereka tentang jalan-jalan Tuhan, untuk menjadi teladan hidup dari hikmat yang mereka ajarkan. Ini adalah mandat perjanjian dengan Allah yang tidak dapat didelegasikan.
Amsal 4:5 peringatan dengan keras: "jangan lupa, dan jangan menyimpang dari perkataan mulutku." Kelupaan adalah musuh hikmat. Ketika kita lupa tentang prinsip-prinsip kebenaran, ketika kita melangkah ke samping dan tidak lagi mengikuti jalan yang telah ditunjukkan, kita kehilangan perlindungan. Kita menjadi rentan. Dalam konteks keluarga kita hari ini, ini bermakna bahwa ketika orang tua melupakan pentingnya mentransmisikan nilai-nilai spiritual kepada anak-anak mereka, ketika mereka berpikir ini dapat ditangani oleh sekolah Minggu atau pendeta gereja, mereka membuat kesalahan serius. Transmisi hikmat adalah tanggung jawab yang hidup dan bernafas, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dalam percakapan di meja makan, dalam perjalanan ke sekolah, dalam momen-momen ordinary ketika Anda berdua sendirian.
Namun ada kabar gembira dalam semua ini, saudara. Amsal 4:9 mengajarkan kepada kita bahwa kehormatan sejati, mahkota kehidupan, tidak datang dari pencapaian Anda atau status sosial Anda. Ini datang dari komitmen Anda kepada hikmat. Dan komitmen ini bukan tentang kesempurnaan. Ini tentang pilihan hari ini. Setiap pagi ketika Anda bangun, Anda memiliki kesempatan baru untuk memilih jalan yang lebih bijaksana. Anda dapat memilih untuk meninvestasikan waktu bersama anak-anak Anda bukan hanya untuk menghibur mereka, tetapi untuk memandu mereka menuju kedewasaan spiritual. Anda dapat memilih untuk membiarkan nilai-nilai ilahi mengarahkan keputusan bisnis Anda, bukan keserakahan atau ambisi tanpa batas.
Warisan yang paling indah yang dapat kita tinggalkan kepada generasi mendatang adalah bukan portofolio atau properti, tetapi transmisi nilai-nilai kekal yang akan membimbing mereka melampaui kehidupan kita. Ini adalah mahkota sejati yang akan mereka kenakan sepanjang hari, karena mereka tahu siapa mereka dalam Kristus dan nilai-nilai yang menggerakkan hidup mereka. Ini adalah warisan perjanjian dengan Allah—warisan yang tidak pernah lapuk, tidak pernah hilang, dan terus memberikan berkat dari generasi ke generasi.
Marilah kita berkomitmen hari ini untuk memeluk hikmat, bukan sekadar sebagai pengetahuan intelektual, tetapi sebagai cara hidup. Marilah kita jaga hikmat itu dengan sepenuh hati, karena dia akan menjaga kita. Marilah kita menjadi pewaris perjanjian dengan Allah yang setia, dan meneruskan warisan ini kepada mereka yang datang sesudah kita. Semoga Tuhan memberkati kita dalam perjalanan ini, dan semoga setiap pilihan kita hari ini mencerminkan prioritas tertinggi kita—hikmat yang datang dari Dia, sumber segala kebijaksanaan sejati.