Yesus Kristus Adalah Kepala Dari Segala Yang Ada
Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,
Pagi ini kita berdiri di hadapan salah satu teks paling megah dalam seluruh Perjanjian Baru—sebuah doa yang bukan sekadar permohonan, melainkan sebuah penyingkapan tentang siapa Yesus Kristus yang sesungguhnya. Rasul Paulus, setelah memuji Allah atas segala berkat rohani yang telah kita terima di dalam Kristus, kini berlutut dalam doa yang penuh kerinduan. Namun perhatikanlah, ia tidak memohon agar jemaat Efesus menerima berkat baru atau karunia tambahan. Sebaliknya, ia berdoa agar mata hati mereka diterangi—agar mereka dapat mengerti dan mengalami kekayaan luar biasa yang sebenarnya sudah menjadi milik mereka. Ini adalah doa untuk epignosis, pengenalan yang mendalam dan intim akan Allah, bukan sekadar pengetahuan kepala yang dingin. Kita mungkin sudah mendengar tentang Yesus sejak kecil, kita sudah hapal cerita-cerita Alkitab, tetapi pertanyaan yang menusuk hati kita hari ini adalah: apakah kita sungguh-sungguh mengenal Dia dalam kepenuhan kuasa dan kemuliaan-Nya?
Paulus mengawali doanya dengan ucapan syukur yang tidak pernah berhenti. Ia bersyukur karena mendengar tentang iman jemaat Efesus kepada Tuhan Yesus dan kasih mereka terhadap semua orang kudus. Dua hal ini—iman dan kasih—adalah tanda-tanda nyata bahwa Roh Kudus sedang bekerja. Iman adalah hubungan vertikal kita dengan Allah, pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Kasih adalah ekspresi horizontal, kepedulian yang nyata terhadap saudara-saudari seiman. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa kasih adalah mati, dan kasih tanpa iman hanyalah humanisme belaka. Namun Paulus tahu bahwa iman dan kasih saja tidak cukup. Jemaat membutuhkan sesuatu yang lebih dalam—mereka perlu melihat dengan mata yang baru, memahami dengan pikiran yang diterangi, mengenal dengan hati yang dicerahi oleh Roh Kudus sendiri.
Inilah sebabnya Paulus memohon agar Allah memberikan kepada mereka Roh hikmat dan wahyu. Bukan hikmat dunia yang bergantung pada kecerdasan manusia, melainkan hikmat yang datang dari atas, yang membuka selubung realitas rohani. Paulus ingin mereka mengerti tiga hal yang mendasar: pertama, pengharapan panggilan Allah—kepastian akan masa depan mulia yang dijamin oleh panggilan ilahi; kedua, kekayaan kemuliaan bagian warisan-Nya—bahwa orang kudus adalah harta berharga di mata Allah, bukan karena jasa mereka, tetapi karena mereka adalah milik-Nya yang berharga; dan ketiga, betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya. Inilah yang menjadi jembatan menuju puncak doa ini: penyingkapan tentang kuasa yang tak terukur yang bekerja bagi kita.
Ketika Paulus berbicara tentang kuasa Allah, ia seolah kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Ia menumpuk istilah demi istilah: kebesaran yang melampaui segala batas, kekuatan, daya kerja, kuasa yang mengalahkan, tenaga—semuanya untuk meyakinkan kita bahwa kuasa ini tidak ada bandingannya. Tetapi kuasa ini bukan konsep abstrak yang mengambang di awang-awang. Ia memiliki bukti historis yang konkret: kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Saudara-saudari, inilah demonstrasi terbesar dari kekuatan Allah dalam sejarah alam semesta. Ketika Yesus tergantung di kayu salib, tampaknya kematian telah menang. Kegelapan menutupi bumi, dan musuh-musuh-Nya bergembira. Tetapi pada hari ketiga, kuasa Allah yang tak tertandingi merobek belenggu maut, membangkitkan Yesus dari kubur, dan memproklamasikan kemenangan yang kekal. Dan inilah yang harus membuat kita terdiam dalam kekaguman: kuasa yang sama yang membangkitkan Kristus dari kematian adalah kuasa yang tersedia bagi kita yang percaya hari ini.
Namun kebangkitan hanyalah permulaan. Allah tidak hanya membangkitkan Yesus, tetapi Ia juga mendudukkan-Nya di sebelah kanan-Nya di sorga—posisi kehormatan tertinggi, takhta otoritas universal. Kristus kini memerintah sebagai Raja Agung atas seluruh alam semesta. Dan di sinilah teks kita mencapai puncaknya yang menakjubkan. Paulus menyatakan bahwa Kristus telah ditempatkan jauh lebih tinggi dari segala pemerintah, kekuasaan, kekuatan, kerajaan, dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini tetapi juga di dunia yang akan datang. Kata "jauh lebih tinggi" dalam bahasa Yunani adalah hyperano—melampaui, di luar jangkauan perbandingan. Tidak ada yang mendekati-Nya. Tidak ada yang menyaingi-Nya. Tidak ada yang dapat mengklaim otoritas yang setara dengan-Nya.
Mengapa Paulus begitu menekankan hal ini? Karena jemaat Efesus hidup dalam konteks yang penuh dengan ketakutan. Efesus adalah pusat paganisme, didominasi oleh kultus Artemis dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan gelap yang menguasai takdir manusia. Orang-orang hidup dalam ketakutan terhadap roh-roh jahat, kutukan, sihir, dan hierarki spiritual yang mereka anggap mengendalikan kehidupan mereka. Tetapi Paulus datang dengan proklamasi yang menghancurkan semua ketakutan itu: Yesus Kristus adalah Kepala dari segala yang ada, dan semua kekuatan yang kalian takuti telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya. Tidak ada lagi alasan untuk takut. Tidak ada lagi tempat untuk keputusasaan. Kristus yang bangkit dan dimuliakan adalah Penguasa mutlak atas setiap kekuatan yang pernah ada atau akan ada.
Saudara-saudari, bukankah kita sering hidup dalam ketakutan yang serupa? Mungkin kita tidak lagi takut pada Artemis, tetapi kita takut pada begitu banyak hal lain. Kita takut pada ketidakpastian ekonomi, pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan, pada kekuatan-kekuatan politik yang tampaknya tidak terkendali, pada ancaman-ancaman yang datang dari berbagai arah. Beberapa di antara kita bahkan masih takut pada okultisme, pada takhayul, pada kutukan yang konon mengikuti keluarga kita. Tetapi teks ini memanggil kita untuk bangun dari tidur ketakutan itu dan melihat realitas sejati: Yesus Kristus telah menang! Ia duduk di takhta tertinggi, dan tidak ada kekuatan apapun—baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, baik yang natural maupun yang supernatural—yang berada di luar kendali-Nya. Segala sesuatu telah diletakkan di bawah kaki-Nya.
Dan inilah kebenaran yang paling mengejutkan: Kristus yang memiliki otoritas kosmik yang tak terbatas ini telah diberikan kepada gereja sebagai Kepala dari segala yang ada. Ini bukan hanya pernyataan tentang kuasa Kristus secara umum, melainkan penegasan bahwa kuasa itu berfungsi secara langsung untuk kepentingan gereja. Semua kekuatan yang telah ditaklukkan, semua otoritas yang telah dipatahkan, semua musuh yang telah dikalahkan—semuanya demi kepentingan kita, umat-Nya. Kekuasaan kosmik Kristus bukanlah sesuatu yang jauh dan abstrak; ia adalah realitas yang melindungi, memelihara, dan memberdayakan gereja-Nya di tengah dunia yang memusuhi. Tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi tujuan Allah bagi gereja-Nya, karena Kepala yang memerintah gereja adalah Penguasa seluruh alam semesta.
Paulus kemudian menyebut gereja sebagai tubuh Kristus dan kepenuhan-Nya. Ini adalah metafora yang kaya dengan makna. Sebagai tubuh, gereja adalah perpanjangan kehadiran Kristus di dunia. Kristus adalah Kepala yang memimpin, dan kita adalah tubuh yang mewujudkan kehendak-Nya. Setiap anggota tubuh memiliki fungsi yang berbeda, tetapi semuanya harus bekerja dalam harmoni di bawah arahan Kepala. Tidak ada anggota yang lebih penting dari yang lain, karena setiap bagian memiliki peran yang unik dan tak tergantikan. Ini menuntut kita untuk hidup dalam kesatuan, saling menerima, saling menguatkan, dan saling melengkapi. Perpecahan dalam tubuh adalah penyangkalan terhadap otoritas Kepala. Kesombongan yang meninggikan satu bagian di atas bagian lain adalah pemberontakan terhadap desain ilahi.
Tetapi yang lebih menakjubkan lagi adalah sebutan gereja sebagai "kepenuhan" Kristus. Kata Yunani plērōma berarti kepenuhan, kelengkapan. Kristus, yang memenuhi semua dan segala sesuatu, memilih untuk memanifestasikan kepenuhan-Nya melalui gereja. Ini adalah paradoks yang indah: Kristus yang tidak terbatas, yang mengisi seluruh alam semesta, menyatakan diri-Nya secara khusus dan nyata melalui komunitas orang-orang percaya yang rapuh dan tidak sempurna ini. Gereja bukan melengkapi kekurangan Kristus—Ia tidak memiliki kekurangan apapun. Sebaliknya, Kristus memenuhi gereja dengan kehadiran, otoritas, dan kuasa-Nya yang tak terbatas. Gereja adalah wadah, tempat, saluran di mana kepenuhan Kristus dialirkan ke dalam dunia. Setiap kali kita berkumpul dalam nama-Nya, setiap kali kita mengasihi sesama dengan kasih-Nya, setiap kali kita memproklamasikan kebenaran firman-Nya, kepenuhan Kristus dimanifestasikan melalui kita.
Lalu apa artinya semua ini bagi kita yang hidup di Indonesia hari ini? Di tengah pluralisme agama, keberagaman budaya, dan kompleksitas sosial yang kita hadapi, proklamasi bahwa Yesus Kristus adalah Kepala dari segala yang ada bukanlah retorika teologis yang abstrak. Ia adalah panggilan untuk hidup dengan cara yang berbeda. Pertama, ini menuntut kita untuk hidup dalam kesatuan di tengah perbedaan. Kristus yang adalah Kepala atas segala sesuatu telah menjadi teladan pluralisme sejati—Ia mengajarkan kita untuk mengasihi sesama manusia tanpa memandang latar belakang, suku, atau status. Gereja dipanggil untuk menjadi komunitas yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang berbeda dapat hidup dalam harmoni di bawah otoritas Kristus. Kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kasih harus menjadi ciri khas kita.
Kedua, supremasi Kristus menuntut integritas publik. Jika Kristus berada di atas segala pemerintah dan kekuasaan, maka tidak ada otoritas politik atau sosial yang bersifat absolut. Kita tunduk kepada pemerintah yang sah, tetapi kepatuhan tertinggi kita adalah kepada Kristus. Ini berarti kita tidak boleh berkompromi dengan ketidakadilan, korupsi, atau penindasan, bahkan ketika hal-hal itu dibungkus dalam legitimasi politik. Kepatuhan kepada Kristus yang adalah Raja Agung menuntut kita untuk menjadi garam dan terang—menegakkan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan menolak praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Ini bukan ajakan untuk memberontak, tetapi panggilan untuk menjadi suara kenabian yang berani dan hidup dalam integritas yang tak tergoyahkan.
Ketiga, supremasi Kristus membebaskan kita dari segala bentuk ketakutan. Apakah itu ketakutan terhadap masa depan, ketakutan terhadap kekuatan-kekuatan gelap, atau ketakutan terhadap penolakan dan penganiayaan. Jika Kepala yang memimpin kita adalah Penguasa atas segala yang ada, maka tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya. Kita dapat hidup dengan keberanian, bukan karena kita kuat, tetapi karena Dia yang memimpin kita adalah mahakuasa. Kita dapat menghadapi tantangan dengan kepala tegak, bukan karena kita tidak melihat bahaya, tetapi karena kita tahu bahwa semua bahaya itu telah ditaklukkan di bawah kaki Kristus.
Saudara-saudari yang terkasih, doa Paulus bagi jemaat Efesus adalah doa yang relevan bagi kita hari ini. Kita membutuhkan mata hati yang diterangi untuk melihat Kristus dalam kepenuhan kemuliaan-Nya. Kita membutuhkan Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan lebih dalam. Kita membutuhkan kesadaran akan kuasa yang luar biasa yang bekerja bagi kita. Dan ketika kita melihat Kristus sebagaimana Ia sebenarnya—Kepala dari segala yang ada, Penguasa yang mahatinggi, Raja yang dimuliakan—maka hidup kita akan berubah. Ketakutan akan digantikan dengan keberanian. Keputusasaan akan digantikan dengan pengharapan. Perpecahan akan digantikan dengan kesatuan. Dan kita akan hidup sebagai tubuh-Nya yang memantulkan kepenuhan-Nya di dunia ini, sampai Ia datang kembali dalam kemuliaan. Marilah kita berdoa agar Allah membuka mata hati kita hari ini, agar kita dapat melihat dan mengenal Yesus Kristus, Kepala dari segala yang ada, dengan cara yang baru dan transformatif. Amin.