Allah Sebagai Gembala Memberkati Keturunanmu
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Bayangkan sebuah ruangan redup di tanah Mesir, di mana seorang patriark tua sedang berbaring lemah di ranjangnya. Matanya telah kabur oleh usia, tubuhnya rapuh oleh perjalanan waktu. Namun ketika mendengar kedatangan anaknya, Yusuf, bersama dua cucunya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Yakub—atau Israel, seperti Allah menyebutnya—mengumpulkan seluruh kekuatannya yang tersisa dan duduk tegak di tempat tidurnya. Ini bukan sekadar gerakan fisik seorang kakek yang ingin menyambut cucunya. Ini adalah tindakan penuh makna dari seorang pembawa kovenan yang menjalankan tugas ilahi terakhirnya di bumi ini.
Kejadian 48 membawa kita pada momen yang sangat intim namun monumental dalam sejarah keselamatan. Di sini, kita melihat bagaimana Yakub mewariskan bukan hanya harta benda, bukan sekadar nama keluarga, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga: warisan iman yang hidup. Dan di pusat warisan ini adalah kesaksian yang mendalam tentang siapa Allah baginya—Gembala yang telah menuntunnya sepanjang hidupnya dan Malaikat Penebus yang telah membebaskannya dari segala bahaya.
Apa yang membuat adegan ini begitu menggetarkan adalah konteksnya. Yakub dan keluarganya berada di Mesir, tanah asing yang kaya dan kuat. Efraim dan Manasye, dua cucu yang akan diberkatinya, lahir dan dibesarkan di Mesir. Mereka adalah anak-anak bangsawan Mesir, putra dari perdana menteri firaun. Nama mereka bahkan berbau Mesir. Dalam segala hal yang kasat mata, mereka lebih Mesir daripada Ibrani. Ancaman asimilasi budaya dan spiritual sangat nyata. Dan di tengah situasi inilah, Yakub melakukan sesuatu yang radikal: ia mengadopsi kedua cucunya sebagai anak-anaknya sendiri, menempatkan mereka sejajar dengan Ruben dan Simeon, anak sulungnya. Dengan tindakan ini, ia menarik mereka kembali ke dalam garis kovenan, memastikan bahwa identitas mereka bukan ditentukan oleh tempat kelahiran mereka, tetapi oleh janji Allah kepada Abraham, Ishak, dan dirinya sendiri.
Saudara-saudara,
Bukankah ini berbicara dengan sangat keras kepada kita yang hidup di zaman ini? Kita pun hidup di "Mesir" kita masing-masing—dunia yang menawarkan kenyamanan, prestise, dan sistem nilai yang sering bertentangan dengan kehendak Allah. Anak-anak kita lahir dan dibesarkan dalam budaya yang tidak lagi menempatkan Allah sebagai pusat. Mereka menghadapi tekanan untuk mengasimilasi nilai-nilai sekular, untuk mengukur kesuksesan dengan standar dunia, untuk menemukan identitas mereka dalam pencapaian, penampilan, atau popularitas. Dan pertanyaan yang menghadang kita sama mendesaknya dengan yang dihadapi Yakub: Bagaimana kita memastikan bahwa generasi berikutnya tetap berakar dalam iman, bahwa mereka mengenal Allah bukan hanya sebagai tradisi keluarga, tetapi sebagai Gembala pribadi mereka?
Yakub memberikan jawabannya melalui tindakan yang sederhana namun mendalam: sharing iman yang autentik. Perhatikan kata-kata yang ia ucapkan kepada cucunya: "Allah, yang sebagai gembala telah menuntun aku sejak dahulu sampai sekarang, Dialah malaikat yang telah melepaskan aku dari segala bahaya." Ini bukan teologi abstrak. Ini bukan doktrin yang dingin. Ini adalah kesaksian hidup dari seseorang yang telah berjalan dengan Allah melalui lembah-lembah kehidupan yang paling gelap.
Pikirkan perjalanan Yakub. Ia melarikan diri dari rumah karena takut dibunuh oleh saudaranya sendiri. Ia mengalami penipuan dan ditipu oleh mertuanya, Laban, berkali-kali. Ia kehilangan istri yang sangat dicintainya, Rahel, dalam persalinan. Ia hidup bertahun-tahun dalam kepercayaan bahwa anak kesayangannya, Yusuf, telah mati dimakan binatang buas. Hidupnya penuh dengan pergumulan, air mata, dan ketakutan. Namun di akhir hidupnya, inilah kesaksiannya: Allah adalah Gembala yang setia, yang tidak pernah meninggalkannya, yang membimbingnya melalui setiap liku perjalanan, yang menebus dan membebaskannya dari setiap bahaya.
Saudara-saudara,
Inilah prinsip pertama yang harus kita pegang: warisan iman yang paling berharga adalah kesaksian pribadi tentang kesetiaan Allah dalam hidup kita. Anak-anak kita tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Mereka membutuhkan orang tua yang jujur—yang bersedia berbagi bagaimana Allah telah menuntun mereka melalui kegagalan, bagaimana Allah telah menebus kesalahan mereka, bagaimana Allah telah menjadi Gembala yang menyediakan ketika mereka kekurangan, yang melindungi ketika mereka terancam, yang menghibur ketika mereka berduka.
Metafora Gembala yang digunakan Yakub sangat kaya maknanya. Gembala bukan sekadar menunjuk arah; ia berjalan bersama dengan domba-dombanya. Gembala tidak hanya memberikan perintah dari kejauhan; ia mengenal setiap domba dengan nama. Gembala tidak meninggalkan dombanya ketika bahaya datang; ia mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi mereka. Ketika Yakub menyebut Allah sebagai Gembalanya, ia mengakui hubungan yang intim, personal, dan penuh kepedulian. Allah bukan konsep filosofis baginya. Allah adalah kehadiran yang nyata, yang telah membimbingnya "sejak dahulu sampai sekarang"—dari masa mudanya yang penuh pergumulan hingga usia tuanya di tanah asing.
Dan kemudian Yakub menambahkan dimensi lain: Allah adalah Malaikat Penebus yang telah membebaskannya dari segala bahaya. Kata "penebus" di sini membawa makna kerabat dekat yang memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan anggota keluarga yang dalam kesulitan. Yakub mengalami Allah bukan hanya sebagai Gembala yang membimbing dalam rutinitas sehari-hari, tetapi juga sebagai Penebus yang turun tangan dalam krisis, yang menyelamatkan ketika situasi tampak putus asa. Ini adalah Allah yang bekerja di kedua level: dalam pemeliharaan harian yang setia dan dalam intervensi penyelamatan yang dramatis.
Saudara-saudara,
Bukankah ini gambar Allah yang kita butuhkan untuk disampaikan kepada generasi berikutnya? Allah yang tidak hanya hadir pada hari Minggu di gereja, tetapi Allah yang membimbing keputusan kita di hari Senin di tempat kerja. Allah yang tidak hanya mendengar doa formal kita, tetapi Allah yang turun tangan dalam krisis keuangan kita, dalam konflik relasi kita, dalam pergumulan kesehatan kita. Allah yang berdaulat atas detail-detail kecil sekaligus atas arah besar kehidupan kita.
Namun Kejadian 48 tidak berhenti pada kesaksian iman. Pasal ini juga mengajarkan kita tentang kedaulatan Allah yang melampaui sistem dan tradisi manusia. Ketika Yakub memberkati kedua cucu Yusuf, ia melakukan sesuatu yang mengejutkan: ia menyilangkan tangannya, menempatkan tangan kanannya—tangan berkat utama—di atas kepala Efraim, anak bungsu, bukan pada Manasye, anak sulung. Yusuf mencoba membetulkan apa yang ia anggap sebagai kesalahan ayahnya yang sudah tua dan hampir buta. Tetapi Yakub menolak: "Aku tahu, anakku, aku tahu."
Ini adalah momen yang penuh kuasa. Yakub, dengan mata fisiknya yang kabur, melihat dengan mata rohani yang jernih. Ia bertindak berdasarkan pengetahuan ilahi, bukan tradisi manusia. Dan dalam tindakan ini, ia menegaskan prinsip kedua yang sangat penting: berkat Allah tidak terikat pada sistem primogenitur atau hak istimewa manusia. Berkat Allah mengalir sesuai dengan kehendak dan anugerah-Nya yang berdaulat.
Pola ini sebenarnya konsisten sepanjang sejarah keselamatan. Bukan Ismael yang sulung, tetapi Ishak yang bungsu yang menjadi pewaris janji. Bukan Esau yang sulung, tetapi Yakub yang bungsu yang menerima berkat. Bukan Ruben anak pertama, tetapi Yusuf—dan kemudian Yehuda—yang menerima posisi kepemimpinan. Bukan Eliab, anak tertua Isai, tetapi Daud, anak bungsu yang menjadi raja. Dan pada akhirnya, bukan orang Farisi yang terpelajar, tetapi para nelayan Galilea yang sederhana yang menjadi rasul-rasul pertama. Allah terus-menerus memilih yang kecil, yang tidak terduga, yang tidak memenuhi kriteria manusiawi, untuk menunjukkan bahwa keselamatan dan berkat adalah karya anugerah-Nya semata.
Apa relevansi prinsip ini bagi kita hari ini? Pertama, ini membebaskan kita dari tirani perbandingan dan kompetisi. Dalam dunia yang terobsesi dengan peringkat, dengan siapa yang pertama dan siapa yang terakhir, dengan siapa yang lebih dan siapa yang kurang, Allah mengatakan bahwa berkat-Nya tidak dibagikan berdasarkan sistem tersebut. Anda mungkin bukan yang tertua, yang terpintar, yang terkuat, yang terkaya, atau yang paling berbakat. Tetapi Allah dapat memilih Anda untuk tujuan-Nya yang berdaulat. Berkat-Nya tersedia bukan karena prestasi Anda, tetapi karena anugerah-Nya.
Kedua, ini mengarahkan kita pada sikap hati yang benar dalam menerima berkat. Jika berkat adalah anugerah, maka respons yang tepat bukanlah kesombongan atau rasa berhak, tetapi rasa syukur yang mendalam. Manasye, yang "dikalahkan" oleh adiknya, tidak dicatat melakukan protes. Ia menerima berkat yang diberikan kepadanya dengan hati yang tunduk pada kehendak Allah. Dan Efraim, yang diangkat di atas kakaknya, tidak boleh menjadi sombong, karena ia tahu bahwa posisinya bukan hasil usahanya sendiri, tetapi pemberian Allah yang berdaulat.
Ketiga, prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak iri hati terhadap berkat orang lain. Yakub bernubuat bahwa Manasye akan menjadi bangsa yang besar, tetapi Efraim akan menjadi lebih besar. Keduanya diberkati, tetapi dengan cara yang berbeda dan dengan ukuran yang berbeda. Demikian pula dalam tubuh Kristus, kita semua diberkati, tetapi dengan karunia yang berbeda-beda. Tugas kita bukan membandingkan berkat kita dengan berkat orang lain, tetapi setia mengelola apa yang telah Allah percayakan kepada kita.
Dan ada prinsip ketiga yang sangat praktis dari kisah ini: berkat Allah harus diteruskan kepada generasi berikutnya. Yakub tidak menyimpan pengalamannya dengan Allah untuk dirinya sendiri. Ia dengan sengaja, secara ritual, di hadapan anak dan cucunya, mentransfer berkat kovenan. Ia membuat mereka menjadi bagian dari cerita keselamatan. Ia memastikan bahwa nama Abraham, Ishak, dan Yakub akan termasyhur melalui Efraim dan Manasye.
Saudara-saudara,
Kita hidup di zaman di mana banyak anak-anak Kristen meninggalkan iman ketika mereka dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas remaja yang aktif di gereja tidak lagi terlibat dalam kehidupan gereja pada usia dua puluhan. Mengapa? Bukan karena mereka tidak mendengar cukup khotbah. Bukan karena mereka tidak mengikuti cukup program pemuda. Tetapi seringkali karena mereka tidak pernah melihat iman yang autentik dihidupi di rumah mereka sendiri. Mereka tidak pernah mendengar kesaksian pribadi orang tua mereka tentang bagaimana Allah telah menjadi Gembala yang setia. Mereka melihat iman sebagai kewajiban sosial, bukan sebagai hubungan yang hidup dengan Allah yang hidup.
Yakub memberikan kita model yang berbeda. Ia vulnerable—terbuka tentang pergumulannya. Ia spesifik—menyebut dengan jelas bagaimana Allah telah bertindak. Ia personal—berbagi bukan teori, tetapi pengalaman. Dan ia intensional—menggunakan momen-momen kunci untuk mentransfer iman kepada generasi berikutnya.
Bayangkan jika setiap keluarga Kristen menerapkan prinsip ini. Bayangkan jika setiap meja makan menjadi tempat di mana orang tua berbagi bagaimana mereka melihat Allah bekerja hari itu. Bayangkan jika setiap krisis keluarga menjadi kesempatan untuk mengajarkan anak-anak bahwa Allah adalah Gembala yang dapat dipercaya bahkan dalam lembah yang paling gelap. Bayangkan jika setiap keberhasilan dan setiap kegagalan digunakan untuk menunjukkan kepada anak-anak kita bahwa hidup kita berada dalam tangan Gembala yang berdaulat dan penuh kasih.
Akhirnya, mari kita melihat ke depan, dari Kejadian ke Injil. Metafora Gembala yang digunakan Yakub menemukan penggenapannya yang sempurna dalam Yesus Kristus. Yesus menyatakan, "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya." Yakub berbicara tentang Allah sebagai Gembala yang telah menuntunnya dan Penebus yang telah membebaskannya. Yesus adalah Gembala itu yang menjadi Penebus itu. Ia tidak hanya membimbing kita dari kejauhan; Ia datang dan berjalan bersama kita. Ia tidak hanya membebaskan kita dari bahaya fisik; Ia membebaskan kita dari dosa dan maut dengan memberikan nyawa-Nya sendiri. Setiap janji yang Yakub pegang, setiap pengalaman pemeliharaan ilahi yang ia alami, menemukan kepenuhan dan kesempurnaannya dalam Kristus.
Saudara-saudara yang terkasih,
Allah yang menjadi Gembala Yakub adalah Allah yang menjadi Gembala kita. Ia yang menuntun Yakub melalui lembah-lembah kehidupan akan menuntun kita juga. Ia yang menebus Yakub dari segala bahaya akan menebus kita juga—tidak hanya dari bahaya temporal, tetapi dari bahaya eternal. Dan berkat yang Ia berikan kepada kita—bukan karena kita sulung atau bungsu, bukan karena kita pandai atau bodoh, bukan karena kita kaya atau miskin, tetapi karena anugerah-Nya semata—berkat itu harus kita teruskan kepada generasi berikutnya.
Karena itulah, marilah kita menjadi Yakub-Yakub di zaman ini: menjadi saksi yang setia akan kebaikan Allah, mentransfer berkat kovenan kepada anak-anak kita bukan melalui ceramah agama, tetapi melalui kesaksian hidup yang autentik tentang Allah yang adalah Gembala kita yang setia dan Penebus kita yang perkasa. Sebab pada akhirnya, warisan terbesar yang dapat kita tinggalkan bukanlah harta, bukan nama besar, bukan prestise, tetapi generasi yang mengenal dan mengikuti Gembala Agung, Yesus Kristus Tuhan kita. Amin.