Khotbah GMIM
MENU
Khotbah Lukas 1:46-56 | MTPJ GMIM 21 - 27 Desember 2025 - Khotbah GMIM

Khotbah Lukas 1:46-56 | MTPJ GMIM 21 - 27 Desember 2025

Rahmat Tuhan Turun-Temurun atas Orang-Orang yang Takut Akan Dia

Lukas 1:46-56

Rahmat Tuhan Turun-Temurun atas Orang-Orang yang Takut Akan Dia

Saudara-saudari yang diberkati Tuhan,

Pernahkah Anda membuka album foto keluarga yang sudah tua? Yang sampulnya mulai kusam, halamannya sedikit kekuningan? Minggu lalu saya melakukannya. Dan di antara foto-foto hitam putih itu, saya menemukan satu foto. Foto kakek-nenek saya berdiri di depan rumah kecil mereka. Rumah yang sederhana sekali. Ibu saya yang kebetulan ada di samping saya berkata, "Waktu itu mereka tidak punya apa-apa. Tetapi setiap pagi, sebelum matahari terbit, Opa dan Oma sudah berlutut berdoa bersama." Saya memandang foto itu lama sekali. Rumah itu sudah tidak ada. Kakek-nenek saya sudah dipanggil Tuhan. Tetapi ada sesuatu dari mereka yang masih hidup—yang mengalir sampai kepada saya hari ini. Bukan warisan tanah. Bukan warisan uang. Tetapi warisan iman. Warisan tentang Allah yang memelihara keluarga kami, turun-temurun.

Nah, pagi ini kita akan melihat sebuah nyanyian dari seorang perempuan muda bernama Maria. Nyanyian yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun, tetapi kata-katanya masih bergema hingga hari ini. Lukas 1:46-56. Sebuah nyanyian yang kita kenal sebagai Magnificat.

Mari kita lihat lebih dalam konteksnya sejenak. Maria adalah seorang gadis desa dari Nazaret. Tidak kaya. Tidak terkenal. Tidak berkuasa. Dalam struktur sosial waktu itu, ia berada di posisi yang sangat rendah. Seorang perempuan muda, belum menikah, dari keluarga sederhana. Tetapi justru kepadanyalah malaikat datang dengan kabar yang mengubah sejarah dunia.

Coba kita bayangkan posisi Maria. Ia baru saja menerima berita bahwa ia akan mengandung Anak Allah. Berita yang membingungkan. Berita yang menakutkan. Berita yang bisa membuatnya diasingkan oleh masyarakat. Tetapi apa respons pertamanya ketika bertemu dengan Elisabet, sanak saudaranya? Bukan keluhan. Bukan ketakutan. Tetapi pujian.

"Jiwaku memuliakan Tuhan."

Kata dalam bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah megalulei. Artinya bukan sekadar memuji dengan bibir. Bukan sekadar berkata "Puji Tuhan" seperti yang kadang kita ucapkan tanpa berpikir. Tidak. Megalulei berarti membesarkan, mengagungkan dengan seluruh keberadaan batin. Maria menempatkan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Seluruh jiwanya—perasaannya, kehendaknya, pikirannya—tertuju kepada Allah.

Pernahkah kita memuji Tuhan dengan cara seperti ini? Atau lebih sering kita memuji-Nya hanya ketika keadaan baik? Hanya ketika doa kita dijawab sesuai keinginan? Saya sendiri harus jujur, saya masih bergumul dengan ini. Ada saat-saat ketika pujian saya terasa dangkal, terasa seperti rutinitas.

Tetapi Maria? Maria memuji di tengah ketidakpastian. Di tengah pertanyaan tentang bagaimana masa depannya. Di tengah kemungkinan penolakan sosial. Ia memuji.

Sekarang, mengapa Maria bisa memuji seperti itu? Ayat 48 memberikan jawabannya. "Karena Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya."

Kata "memperhatikan" di sini dalam bahasa Yunani adalah epeblepsen. Dan ini sangat indah, saudara-saudari. Kata ini bukan sekadar "melihat" seperti kita melihat orang lewat di jalan. Epeblepsen berarti memandang dengan penuh kasih, memberikan perhatian khusus, memandang dengan belas kasihan dan kehormatan.

Allah melihat Maria. Bukan melihat lalu mengabaikan. Bukan melihat lalu melewati. Tetapi melihat dengan kasih. Melihat dengan maksud untuk mengangkat.

Anda mungkin berpikir, "Tapi itu Maria. Ia istimewa. Ia dipilih menjadi ibu Yesus. Bagaimana dengan saya yang hanya orang biasa?"

Di sinilah kita perlu memahami sesuatu yang penting. Maria menyebut dirinya dengan kata tapeinosin—yang artinya kerendahan status, keadaan hina, kemiskinan. Maria tidak merasa dirinya istimewa. Ia sadar betul posisinya yang rendah dalam masyarakat. Dan justru di situlah keajaiban terjadi. Allah memilih yang rendah. Allah memperhatikan yang diabaikan dunia. Allah mengangkat yang diinjak-injak oleh sistem.

Ini adalah pola yang konsisten dalam seluruh Alkitab. Ingat Hana? Seorang perempuan yang mandul dan terhina, yang kemudian melahirkan Samuel sang nabi. Nyanyian Hana dalam 1 Samuel 2 memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan Magnificat Maria. Keduanya menyanyikan tentang Allah yang membalikkan keadaan. Yang mengangkat orang miskin dari debu. Yang menjatuhkan yang sombong dari takhtanya.

Nah, sekarang kita masuk ke bagian yang mungkin paling mengejutkan dari nyanyian Maria ini.

Ayat 51-53. Dengarlah kata-kata ini. "Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa."

Maria. Seorang gadis desa yang sederhana. Menyanyikan lagu revolusioner tentang pembalikan tatanan dunia.

Yang sombong? Dicerai-beraikan. Yang berkuasa dan zalim? Diturunkan. Yang kaya tetapi tidak peduli? Pergi dengan tangan hampa. Sebaliknya, yang rendah? Ditinggikan. Yang lapar? Dikenyangkan.

Ini bukan sekadar puisi indah. Ini adalah pernyataan teologis yang sangat radikal.

Allah berpihak.

Saudara-saudari, saya tahu ini mungkin terdengar keras. Tetapi Magnificat mengajarkan kita bahwa Allah tidak netral terhadap ketidakadilan. Ia tidak diam ketika yang kuat menindas yang lemah. Ia tidak tutup mata ketika kesenjangan sosial semakin melebar. Ia tidak bisu ketika orang-orang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sambil menginjak yang miskin.

Coba kita lihat dunia di sekitar kita hari ini. Bukankah kita masih melihat orang-orang yang sombong dalam angan-angan hati mereka? Yang merasa diri paling benar? Yang menghina orang lain? Bukankah kita masih melihat penguasa yang menyalahgunakan jabatan? Kesenjangan yang semakin lebar? Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpinggir?

Pertanyaannya adalah: di mana posisi kita?

Dan inilah yang membawa kita kepada tema hari ini. "Rahmat Tuhan Turun-Temurun atas Orang-Orang yang Takut akan Dia."

Ayat 50 berkata dengan sangat jelas: "Rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia."

Kata "rahmat" di sini adalah eleos—belas kasihan, kasih sayang, anugerah Allah. Dan Maria menegaskan bahwa rahmat ini bersifat turun-temurun. Dari generasi ke generasi. Dari nenek ke cucu. Dari kita kepada anak-anak kita dan cucu-cucu kita.

Tetapi—dan ini penting sekali—ada syaratnya.

"...atas orang-orang yang takut akan Dia."

Sekarang, apa artinya takut akan Tuhan? Apakah ini berarti kita harus hidup dalam ketakutan? Gemetar setiap kali mendengar nama-Nya? Merasa tertekan oleh-Nya?

Tidak. Sama sekali tidak.

Takut akan Tuhan—dalam bahasa Yunani phobos theou—adalah sebuah sikap yang mengakui bahwa Allah jauh lebih besar dari kita. Sikap yang menumbuhkan kerendahan hati. Sikap yang membuat kita bersedia menerima petunjuk dari-Nya, bukan karena terpaksa, tetapi karena kita tahu Ia adalah sumber hikmat dan kebenaran.

Amsal mengajarkan bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan dan hikmat. Artinya, tanpa sikap ini, kita akan menjadi orang yang "bijaksana di mata sendiri." Dan bukankah itu yang terjadi ketika orang menjadi sombong? Ketika orang merasa tidak butuh Allah? Ketika orang bertindak seolah-olah tidak ada yang akan meminta pertanggungjawaban?

Saudara-saudari, saya percaya inilah akar dari banyak masalah yang kita lihat hari ini. Kesombongan spiritual. Hilangnya rasa takut akan Tuhan. Orang-orang yang mengaku Kristen tetapi hidupnya tidak mencerminkan kasih, solidaritas, dan keadilan. Pengakuan iman yang sekadar verbal tanpa tindakan nyata.

Kita merayakan Natal setiap tahun. Kita menyanyikan lagu-lagu indah. Kita memasang pohon Natal dan bertukar hadiah. Tetapi apakah kita benar-benar hidup dalam takut akan Tuhan? Apakah kita benar-benar memuliakan-Nya dengan seluruh jiwa kita, atau hanya dengan bibir kita?

Mari kita jujur pada diri sendiri sejenak.

Dalam kehidupan keluarga, sudahkah kita mewariskan sikap takut akan Tuhan kepada anak-anak dan cucu-cucu kita? Bukan mewariskan ketakutan, tetapi mewariskan penghormatan yang mendalam kepada Allah. Apakah anak-anak kita melihat kita sebagai orang yang konsisten—yang iman di hari Minggu sama dengan iman di hari Senin sampai Sabtu?

Dalam kehidupan bermasyarakat, apakah kita tergerak ketika melihat ketidakadilan? Ketika melihat orang miskin ditindas? Ketika melihat yang lemah tidak punya suara? Atau kita diam saja karena "bukan urusan kita"?

Magnificat mengajarkan bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang menurunkan penguasa zalim dan meninggikan yang rendah. Jika kita benar-benar takut akan Dia, maka kita tidak bisa diam ketika ada ketidakadilan. Kita tidak bisa tutup mata ketika ada penindasan. Kita tidak bisa memuji-Nya di gereja sambil mengabaikan penderitaan sesama di luar gereja.

Saya teringat percakapan dengan seorang ibu beberapa waktu lalu. Ia bercerita bagaimana keluarganya melewati masa-masa sulit secara ekonomi. "Pak Pendeta," katanya, "kadang kami tidak tahu besok makan apa. Tetapi setiap malam, kami tetap berdoa bersama. Dan entah bagaimana, selalu ada jalan. Tetangga memberi beras. Ada pekerjaan kecil yang datang. Anak-anak saya belajar bahwa Tuhan setia."

Itu adalah rahmat turun-temurun. Itu adalah warisan iman yang lebih berharga dari harta apapun.

Sekarang, bagaimana kita merespons pesan ini di masa Adven?

Masa Adven adalah masa persiapan. Bukan sekadar persiapan untuk perayaan, tetapi persiapan hati. Maria mengajarkan kita bahwa persiapan yang sejati dimulai dari kerendahan hati. Dari pengakuan bahwa kita membutuhkan rahmat Allah. Dari kesediaan untuk ditransformasi.

Minggu ini kita akan merayakan Natal. Kelahiran Kristus. Dan Magnificat mengingatkan kita bahwa Kristus datang bukan untuk mempertahankan yang sudah ada, tetapi untuk membalikkan tatanan dunia. Kasih yang menuntun, berkat yang menghidupkan, dan keadilan yang memulihkan—itulah yang dibawa-Nya.

Maka izinkan saya mengakhiri dengan beberapa ajakan.

Pertama, mari kita introspeksi diri. Apakah ada kesombongan dalam hati kita yang perlu dihancurkan? Apakah ada sikap merasa paling benar yang perlu kita tanggalkan? Mari kita datang kepada Tuhan dengan kerendahan hati seperti Maria.

Kedua, mari kita hidup dalam solidaritas nyata. Natal bukan hanya tentang memberi hadiah kepada orang yang sudah punya. Natal adalah tentang membagikan berkat kepada yang tidak punya. Adalah tentang melihat yang lapar dan melakukan sesuatu. Adalah tentang mengangkat yang tertindas.

Ketiga, mari kita mewariskan iman kepada generasi berikutnya. Bukan dengan kata-kata saja, tetapi dengan teladan hidup. Anak-anak kita, cucu-cucu kita, perlu melihat bahwa iman kita nyata. Bahwa takut akan Tuhan bukan konsep abstrak, tetapi cara hidup yang membentuk setiap keputusan kita.

Rahmat Tuhan turun-temurun atas orang-orang yang takut akan Dia.

Saudara-saudari, ini adalah janji yang luar biasa. Tetapi juga tanggung jawab yang besar. Rahmat itu tersedia. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan menerimanya dengan kerendahan hati? Apakah kita akan mewariskannya kepada generasi berikutnya?

Maria, seorang gadis desa yang rendah hati, dipilih Allah untuk membawa Juruselamat dunia. Dan ia merespons dengan pujian total. Dengan penyerahan total. Dengan iman yang radikal.

Di Adven ini, maukah kita melakukan hal yang sama? Maukah kita memuliakan Tuhan bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan seluruh hidup kita? Dengan keadilan? Dengan kasih? Dengan kerendahan hati?

Semoga rahmat yang Maria nyanyikan itu terus mengalir dalam hidup kita. Dari generasi ke generasi. Selamanya.

Amin.