Hormatilah Pemimpin dan Hiduplah Selalu dalam Damai Seorang dengan yang Lain
Jemaat yang dikasihi Tuhan
Bayangkanlah sebuah orkestra simfoni yang megah. Di hadapan para musisi berdiri seorang konduktor dengan tongkat kecilnya, menggerakkan tangan dengan penuh gairah. Setiap musisi memainkan alat mereka masing-masing—violin bernyanyi merdu, cello bergumam dalam, terompet memanggil dengan gagah. Namun keindahan musik yang tercipta bukan semata karena kemampuan individual setiap pemain, melainkan karena harmoni yang terjalin ketika mereka mengikuti arahan sang konduktor dan mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian. Tanpa konduktor, orkestra hanyalah kumpulan bunyi yang kacau. Tanpa kerjasama antar musisi, melodi yang indah mustahil tercipta.
Demikianlah gambaran yang hendak Rasul Paulus lukiskan kepada kita melalui nasihatnya dalam surat 1 Tesalonika pasal 5 ayat 12 hingga 22. Jemaat di Tesalonika, yang masih muda dalam iman mereka, menghadapi berbagai tekanan dari dunia di sekitar mereka. Kota Tesalonika yang ramai sebagai pusat perdagangan membawa tantangan tersendiri—godaan untuk hidup mengikuti arus dunia, perpecahan internal, dan kebingungan tentang bagaimana seharusnya mereka hidup sambil menantikan kedatangan Kristus kembali. Dalam konteks inilah Paulus memberikan nasihat yang sangat praktis namun mendalam, yang hingga hari ini masih berbicara kepada kita dengan kekuatan yang sama.
Mari kita mulai dengan merenungkan kata-kata Paulus tentang menghormati para pemimpin rohani. "Kami minta kepadamu, saudara-saudara," demikian Paulus memulai dengan nada yang penuh kasih namun serius, "supaya kamu menghargai mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu." Perhatikanlah bahwa Paulus tidak meminta kita menghormati pemimpin karena gelar mereka, karena karisma mereka, atau karena popularitas mereka. Tidak! Paulus meminta kita menghormati mereka karena pekerjaan mereka—karena jerih lelah mereka yang tak kenal henti dalam menggembalakan kawanan domba Allah.
Pemimpin rohani yang sejati adalah mereka yang "bekerja keras"—dalam bahasa Yunani "kopiontas"—sebuah kata yang menggambarkan jerih payah hingga kelelahan. Mereka adalah para gembala yang bangun di tengah malam untuk mendoakan domba-dombanya yang sakit. Mereka adalah pengajar yang menghabiskan berjam-jam menggali Firman Tuhan agar dapat membagikan makanan rohani yang bergizi. Mereka adalah penasihat yang dengan sabar mendengarkan keluh kesah jemaat, bahkan ketika hati mereka sendiri mungkin sedang terluka.
Namun penghormatan yang dimaksud Paulus bukanlah penyembahan berhala terhadap manusia. Kita menghormati pemimpin rohani bukan karena mereka sempurna—tidak ada manusia yang sempurna kecuali Kristus—tetapi karena mereka adalah alat di tangan Tuhan untuk memimpin kita. Mereka adalah gembala-gembala bawahan yang melayani di bawah Gembala Agung kita, Yesus Kristus. Ketika kita menghormati mereka, sesungguhnya kita sedang menghormati Tuhan yang telah menempatkan mereka.
Tetapi Paulus tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan nasihat yang sangat penting: "Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain." Damai bukanlah sekadar ketiadaan konflik. Damai adalah shalom—kesejahteraan yang utuh, harmoni yang indah, seperti orkestra yang bermain dalam sinkronisasi sempurna. Dan damai ini dimulai dari hubungan yang benar antara pemimpin dan jemaat, lalu mengalir ke seluruh tubuh Kristus.
Saudara-saudara, mari kita jujur—menciptakan damai tidaklah mudah. Di dalam setiap komunitas, termasuk gereja, ada berbagai karakter dan temperamen. Ada yang mudah tersinggung, ada yang keras kepala, ada yang suka mengkritik, ada yang apatis. Paulus menyadari keragaman ini, dan dengan hikmat yang luar biasa, ia memberikan matriks pelayanan yang sangat praktis. "Nasihatlah mereka yang hidup dengan tidak tertib," katanya. Ini adalah mereka yang malas, yang lebih suka bergosip daripada bekerja, yang menghabiskan waktu mencampuri urusan orang lain daripada membereskan hidup mereka sendiri. Kepada mereka, diperlukan teguran yang tegas namun penuh kasih.
"Hiburlah mereka yang tawar hati." Ada di antara kita yang sedang bergumul dengan kesedihan yang mendalam, yang hampir menyerah menghadapi beban hidup. Mungkin mereka baru saja kehilangan orang yang dikasihi, atau menghadapi kegagalan yang menghancurkan. Kepada mereka, kita dipanggil untuk menjadi pembawa penghiburan, untuk memeluk mereka dengan kasih Kristus, untuk mengingatkan mereka bahwa fajar pasti menyingsing setelah malam yang paling gelap sekalipun.
"Belalah mereka yang lemah." Lemah dalam iman, lemah dalam pengetahuan, mudah terombang-ambing oleh setiap angin pengajaran. Mereka membutuhkan kita untuk menjadi tiang penopang, untuk dengan sabar mengajar dan membimbing mereka hingga mereka dapat berdiri teguh dalam iman mereka sendiri.
Dan yang paling menantang: "Sabarlah terhadap semua orang." Semua orang! Termasuk mereka yang menjengkelkan, yang selalu terlambat, yang keras kepala, yang sulit diatur. Kesabaran adalah buah Roh yang mungkin paling sulit untuk dipraktikkan, namun paling penting untuk menciptakan damai.
Lalu Paulus memberikan prinsip yang radikal dan bertentangan dengan naluri alamiah kita: "Perhatikanlah supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang." Ini adalah DNA komunitas Kristen yang membedakan kita dari dunia. Ketika seseorang menyakiti kita, naluri kita berteriak untuk membalas. Tetapi Kristus memanggil kita untuk memutus lingkaran setan pembalasan dendam. Kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi, pembawa damai di tengah dunia yang penuh konflik.
Namun, saudara-saudara yang kekasih, kekuatan untuk hidup seperti ini tidak datang dari diri kita sendiri. Paulus menyadari hal ini, dan karena itu ia memberikan fondasi rohani yang harus kita bangun: "Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal." Ini bukan sekadar slogan motivasi yang kosong. Ini adalah disiplin rohani yang mengubahkan.
Sukacita yang dimaksud Paulus bukanlah kebahagiaan yang tergantung pada keadaan. Ini adalah sukacita yang berakar pada keyakinan bahwa Tuhan memegang kendali, bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Ini adalah sukacita Paulus dan Silas yang bernyanyi di penjara Filipi dengan kaki terbelenggu. Ini adalah sukacita para martir yang menghadapi kematian dengan wajah berseri.
"Tetaplah berdoa"—bukan berarti kita harus berlutut 24 jam sehari, tetapi hidup dalam kesadaran konstan akan hadirat Allah. Seperti napas yang tidak pernah berhenti, demikianlah doa seharusnya menjadi ritme hidup kita. Dalam setiap keputusan, dalam setiap percakapan, dalam setiap tantangan—kita berbicara dengan Bapa kita.
"Mengucap syukurlah dalam segala hal"—perhatikan, bukan "untuk" segala hal, tetapi "dalam" segala hal. Kita tidak bersyukur untuk kanker, tetapi kita bisa bersyukur dalam menghadapi kanker karena kita tahu Tuhan menyertai kita. Kita tidak bersyukur untuk kehilangan pekerjaan, tetapi kita bisa bersyukur dalam kehilangan pekerjaan karena kita percaya Tuhan memiliki rencana.
Dan inilah yang luar biasa—Paulus menyebut ketiga praktik ini sebagai "kehendak Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Ini bukan saran tambahan yang bisa diabaikan. Ini adalah kehendak Allah! Ketika kita bersukacita, berdoa, dan bersyukur, kita sedang hidup dalam pusat kehendak Allah.
Tetapi Paulus belum selesai. Ia memperingatkan kita: "Janganlah padamkan Roh." Roh Kudus seperti api yang menyala dalam diri kita. Api ini bisa dipadamkan—bukan berarti Roh Kudus pergi, tetapi pekerjaan-Nya dalam hidup kita terhambat. Kita memadamkan Roh ketika kita menolak untuk taat, ketika kita membiarkan dosa bersarang, ketika kita mengabaikan bisikan-Nya yang lembut.
"Janganlah anggap rendah nubuat-nubuat." Di zaman yang skeptis ini, kita mudah meremehkan hal-hal rohani. Tetapi Tuhan masih berbicara hari ini—melalui Firman-Nya, melalui hamba-hamba-Nya, melalui Roh Kudus yang tinggal dalam kita. Kita harus tetap terbuka terhadap suara Tuhan.
Namun—dan ini sangat penting—Paulus menambahkan: "Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik." Kita tidak boleh naif. Tidak semua yang mengaku dari Tuhan benar-benar dari Tuhan. Kita harus menguji setiap pengajaran, setiap nubuat, setiap arahan dengan Firman Allah. Alkitab adalah standar kebenaran kita, kompas moral yang tidak pernah salah arah.
Di era media sosial ini, di mana setiap orang bisa menjadi "nabi" dengan platform mereka sendiri, nasihat Paulus ini sangatlah relevan. Ujilah segala sesuatu! Jangan mudah terbawa oleh setiap video viral, setiap kesaksian sensasional, setiap pengajaran yang baru dan menarik. Ujilah dengan Firman Tuhan. Dan ketika kita menemukan yang baik, yang benar, yang dari Tuhan—peganglah erat-erat.
Saudara-saudara yang kekasih, nasihat Paulus dalam perikop ini bukanlah sekadar daftar peraturan. Ini adalah blueprint untuk komunitas yang sehat, yang mencerminkan kemuliaan Kristus. Ketika kita menghormati pemimpin rohani kita, kita menciptakan stabilitas. Ketika kita saling melayani dengan kasih dan kesabaran, kita membangun kesatuan. Ketika kita hidup dalam sukacita, doa, dan ucapan syukur, kita memancarkan terang Kristus. Ketika kita peka terhadap Roh Kudus namun tetap kritis dalam menguji segala sesuatu, kita bertumbuh dalam kedewasaan rohani.
Gereja yang sehat bukanlah gereja yang bebas masalah. Gereja yang sehat adalah gereja di mana masalah ditangani dengan hikmat ilahi, di mana konflik diselesaikan dengan kasih Kristus, di mana setiap anggota mengambil tanggung jawab untuk membangun tubuh Kristus. Ini dimulai dari Anda dan saya, hari ini, saat ini.
Mari kita pulang dengan komitmen baru untuk menghormati para pemimpin rohani kita—bukan dengan pujian kosong, tetapi dengan dukungan nyata, dengan doa yang tekun, dengan ketaatan pada arahan mereka yang sesuai dengan Firman Tuhan. Mari kita pulang dengan tekad untuk menjadi pembawa damai—untuk menolak membalas kejahatan dengan kejahatan, untuk mengusahakan yang baik bagi semua orang. Mari kita pulang dengan disiplin rohani yang diperbaharui—untuk bersukacita dalam Tuhan, untuk hidup dalam doa, untuk bersyukur dalam segala keadaan. Amin.