Kebenaran yang Memerdekakan
Saudara-saudara yang dikasihi dalam Kristus,
Saudara-saudara Apakah kata-kata ini hanya sekadar indah? Apakah ini hanya ungkapan puitis dari seorang guru rohani? Tidak. Ini adalah deklarasi. Ini adalah suara Anak Allah yang berdiri di hadapan dunia yang terbelenggu, dan Ia berkata: Aku datang untuk memerdekakanmu. Dan hanya Aku yang bisa melakukannya.
Tapi mari kita jujur—apa artinya merdeka? Bukankah dunia juga bicara tentang kebebasan? Bukankah setiap orang berteriak: “Aku bebas! Aku berhak melakukan apa yang aku mau!”? Tetapi lihatlah dunia ini. Apakah benar-benar bebas?
Orang Yahudi yang mendengar Yesus berkata, “Kami keturunan Abraham, kami tidak pernah jadi hamba siapa pun.” Oh, betapa ironis! Mereka lupa Mesir. Mereka lupa Babel. Mereka bahkan lupa bahwa saat itu mereka hidup di bawah penjajahan Romawi. Tetapi Yesus melihat lebih dalam. Ia menembus lapisan kebanggaan etnis, tradisi, bahkan politik. Ia berkata, “Setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa.”
Itulah inti persoalan kita. Dunia bisa merdeka secara politik, tetapi hati tetap terikat. Dunia bisa merayakan kebebasan, tetapi jiwa tetap dalam penjara.
Saudara-saudara yang kekasih, lihatlah sejarah. Eropa Timur merayakan jatuhnya Uni Soviet dengan pesta besar. Mereka bebas! Tetapi segera setelah itu muncul narkoba, prostitusi, kejahatan. Mengapa? Karena kebebasan dimaknai sebagai lisensi. “Aku bebas melakukan apa saja!” Dan hasilnya bukanlah kebebasan, tetapi perbudakan baru.
Bukankah ini juga kita lihat di sekitar kita? Generasi kita berkata, “Aku bebas berekspresi,” meski melukai hati orang lain. “Aku bebas berbisnis,” meski dengan tipu daya. “Aku bebas menjalin relasi,” meski merusak kesucian tubuh dan jiwa. Inilah kebebasan dunia—bukan kebebasan sejati, melainkan belenggu baru dengan wajah yang berbeda.
Tetapi Yesus datang dengan sesuatu yang lain. “Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Perhatikan kata itu: benar-benar. Dunia hanya bisa memberi kemerdekaan semu. Kristus memberi kemerdekaan sejati. Dunia hanya bisa memberi otonomi terbatas. Kristus memberi identitas baru: bukan hamba, tetapi anak-anak Allah. Seorang hamba tidak punya warisan. Tetapi seorang anak punya tempat tetap dalam rumah. Itulah yang Yesus tawarkan.
Dan bagaimana kemerdekaan ini kita alami? Paulus berkata, “Di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.” Roh Kuduslah yang membebaskan hati kita dari kecanduan, dari rasa bersalah yang menghantui, dari luka lama yang tidak sembuh-sembuh. Tetapi jangan salah—ini bukan peristiwa sekali jadi lalu selesai. Ini perjalanan. Ini proses. Dari satu kemenangan kecil menuju kemenangan berikutnya. Dari satu tingkat kemuliaan menuju tingkat kemuliaan yang lebih tinggi.
Namun, jangan salah paham. Kemerdekaan bukan alasan untuk hidup seenaknya. Paulus berkata, “Jangan gunakan kemerdekaan itu untuk memuaskan daging, melainkan untuk saling melayani di dalam kasih.” Dunia berkata, “Aku bebas melakukan apa saja.” Kristus berkata, “Kamu bebas untuk mengasihi.” Dunia berkata, “Aku bebas mengejar kesenangan diri.” Kristus berkata, “Kamu bebas menyerahkan dirimu bagi sesama.”
Dan lihatlah paradoks Injil! Kita benar-benar merdeka justru ketika kita tunduk kepada Kristus. Kita menemukan hidup justru ketika kita mati terhadap diri sendiri. Kita menemukan sukacita justru ketika kita menyerahkan hak kita. Bukankah Yesus sendiri teladan tertinggi? Di Getsemani Ia berdoa, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Dari penyerahan itu, lahirlah kemerdekaan bagi dunia.
Dan tanda bahwa kita sungguh merdeka apa? Paulus menyebutnya buah Roh. Kasih, sukacita, damai, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Lihatlah itu! Dunia bisa memberi kita hiburan, tapi tidak bisa memberi damai. Dunia bisa menjanjikan cinta, tapi tidak bisa memberi kasih yang sejati. Hanya Roh Kudus yang bisa menghasilkan buah itu dalam diri kita. Maka, mari bertanya: kalau kita berkata kita sudah dimerdekakan, apakah hidup kita memperlihatkan buah itu? Atau kita masih seperti hamba, bukan seperti anak?
Saudara, jangan lupa: kemerdekaan dalam Kristus bukan hanya untuk kita nikmati pribadi. Gereja dipanggil menjadi saksi. Indonesia merayakan kemerdekaan setiap tahun, tapi apakah itu otomatis menghadirkan keadilan? Tidak. Kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan rohani hanyalah kulit kosong. Dunia harus melihat pada gereja dan berkata: “Mereka berbeda. Mereka sudah bebas.” Tapi kenyataannya, sering gereja justru tidak berbeda. Sama egoisnya. Sama komprominya. Sama haus kuasanya. Oh, betapa kita butuh dibebaskan ulang oleh Kristus!
Bayangkan kalau jemaat Kristus hidup dalam kemerdekaan sejati: mengampuni ketika disakiti, jujur meski ada kesempatan curang, memberi meski tak ada balasan. Dunia akan bertanya: “Apa rahasia mereka?” Dan jawabannya hanyalah satu: Kristus yang memerdekakan.
Dan jangan lupa ini: kemerdekaan Kristus membuat kita berani. Tidak lagi diperbudak ketakutan. Tidak takut masa depan. Tidak takut ditolak. Tidak takut mati. Sebab bagi kita, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Dunia bisa merampas tubuh kita, tapi tidak bisa menyentuh jiwa yang sudah dimerdekakan.
Saudara, biarkan saya menutup dengan satu gambaran. Bayangkan seekor elang yang dikurung bertahun-tahun. Saat pintu sangkarnya dibuka, apakah ia langsung terbang? Tidak. Sering ia tetap diam. Ia sudah terbiasa dengan jeruji. Ia bahkan takut pada kebebasan. Bukankah begitu juga kita? Kristus sudah membuka pintu. Tetapi kita tetap duduk di dalam sangkar—sangkar dosa, sangkar trauma, sangkar kebiasaan lama. Firman Tuhan hari ini berkata: pintu sudah terbuka. Jangan duduk lagi. Terbanglah.
Gunakan kemerdekaan itu bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengasihi. Gunakan lidah bukan untuk melukai, tetapi untuk membangun. Gunakan harta bukan untuk menimbun, tetapi untuk menolong. Gunakan waktu bukan untuk sia-sia, tetapi untuk melayani.
“Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Inilah kebebasan sejati—bebas dari dosa, bebas untuk mengasihi, bebas untuk melayani, bebas untuk memuliakan Allah.
Saudara, inilah panggilan Kristus bagi kita hari ini. Jangan tinggal di dalam sangkar. Terbanglah.
Amin.