Janganlah Membelokkan Hukum Tetapi Hormatilah dan Hargai Hak-Hak Manusia
Jemaat yang dikasihi Tuhan,
Ada sebuah kisah yang menarik dari ruang sidang pengadilan di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Seorang hakim tua dengan rambut memutih duduk menghadapi terdakwa yang tak lain adalah putranya sendiri, tertangkap melanggar peraturan lalu lintas. Seluruh ruangan menahan napas. Akankah sang hakim membelokkan hukum demi darah dagingnya? Dengan suara bergetar namun tegas, sang hakim menjatuhkan denda sesuai aturan yang berlaku. Namun setelah palu diketuk, ia melepas jubahnya, turun dari kursi hakim, dan sebagai seorang ayah, membayar denda untuk putranya. Itulah gambaran sempurna tentang keadilan yang tidak membelok namun tetap penuh kasih, sebuah prinsip yang telah Allah tanamkan ribuan tahun lalu di padang gurun Sinai.
Hari ini, kita berdiri di hadapan firman Allah yang tertulis dalam Keluaran pasal dua puluh tiga, ayat satu hingga tiga belas. Teks yang mungkin terasa kuno namun berbicara dengan suara yang menggelegar hingga ke abad dua puluh satu ini. Di tengah dunia yang dipenuhi ketidakadilan, korupsi yang menggerogoti sendi-sendi bangsa, dan hak asasi manusia yang diinjak-injak, Allah berbicara melalui hukum-hukum yang diberikan kepada Musa. Bukan sekadar kumpulan aturan kaku, melainkan cetak biru ilahi untuk membangun masyarakat yang mencerminkan karakter Allah sendiri.
Bayangkan Anda berdiri di padang gurun Sinai bersama bangsa Israel. Baru saja keluar dari perbudakan Mesir, mereka adalah bangsa tanpa identitas hukum, tanpa sistem peradilan, tanpa struktur sosial yang mapan. Lalu Allah berbicara. Bukan dengan gemuruh petir yang menakutkan saja, tetapi dengan kata-kata yang membentuk fondasi peradaban. "Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar." Sederhana namun revolusioner. Di tengah dunia kuno di mana kebenaran adalah milik yang berkuasa, Allah menetapkan bahwa kebenaran adalah absolut, tidak dapat dibeli atau dimanipulasi.
Perhatikan betapa radikalnya perintah ini dalam konteks zamannya. Kode Hammurabi, hukum tertulis tertua yang kita kenal, membedakan hukuman berdasarkan status sosial. Seorang bangsawan yang melukai budak mendapat hukuman ringan, sementara budak yang melukai bangsawan bisa dihukum mati. Namun Allah Israel berbicara berbeda. Ia berkata, "Janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya," namun di saat yang sama, "Janganlah engkau memperkosa hak orang miskin di antaramu dalam perkaranya." Paradoks yang indah! Keadilan sejati tidak memihak, baik kepada yang kaya maupun yang miskin. Keadilan sejati adalah cermin dari karakter Allah yang tidak memandang muka.
Saudara-saudari, mari kita jujur. Berapa kali kita tergoda untuk membelokkan kebenaran demi keuntungan? Mungkin bukan di ruang sidang, tetapi di kantor ketika kita diminta memanipulasi laporan. Di pasar ketika kita mengurangi timbangan. Di sekolah ketika kita membiarkan anak kita menyontek karena "semua orang melakukannya." Setiap pembelokan kecil terhadap kebenaran adalah pukulan terhadap fondasi masyarakat yang adil. Seperti retakan kecil pada bendungan yang akhirnya bisa menyebabkan keruntuhan total.
Namun Allah tidak berhenti pada larangan. Ia melangkah lebih jauh dengan perintah yang bahkan hingga hari ini terasa mengejutkan. "Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kaukembalikan kepada musuhmu itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena bebannya, maka janganlah engkau membiarkannya dengan kejam, tetapi bantulah dia membangunkan keledainya itu." Bayangkan! Di tengah budaya balas dendam yang mendominasi dunia kuno, Allah memerintahkan umat-Nya untuk menolong musuh mereka. Ini bukan sekadar toleransi pasif, tetapi kasih aktif yang melampaui logika manusia.
Yesus kemudian mengangkat prinsip ini ke level yang lebih tinggi. Ia tidak hanya berkata tolonglah keledai musuhmu, tetapi "kasihilah musuhmu." Dari menolong hewan milik musuh hingga mengasihi musuh itu sendiri. Inilah evolusi kasih ilahi yang terus berkembang namun tetap berakar pada prinsip yang sama: bahwa setiap manusia, bahkan musuh kita, adalah gambar Allah yang layak dihormati dan dikasihi.
Mari kita renungkan lebih dalam tentang tahun Sabat yang diperintahkan Allah. Setiap tujuh tahun, tanah harus diistirahatkan. Apa pun yang tumbuh dengan sendirinya menjadi milik orang miskin dan binatang liar. Ini bukan sekadar kebijakan pertanian, ini adalah revolusi ekonomi! Dalam sistem kapitalis modern kita, di mana setiap inci tanah dieksploitasi maksimal, di mana profit adalah tuhan yang disembah, Allah berkata: berhenti. Istirahat. Berbagi. Prinsip ini menantang struktur ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang kaya sambil memiskinkan mayoritas.
Begitu pula dengan hari Sabat. Bukan sekadar hari libur, tetapi hak asasi universal untuk beristirahat. Budak, orang asing, bahkan hewan pun berhak mendapat istirahat. Di era modern ketika pekerja diperas hingga tetes keringat terakhir, ketika buruh pabrik bekerja tanpa henti dengan upah minim, prinsip Sabat berbicara lantang: manusia bukan mesin produksi. Setiap orang memiliki martabat yang harus dihormati.
Jemaat terkasih, pertanyaannya sekarang adalah: di manakah gereja dalam semua ini? Apakah kita hanya menjadi penonton yang nyaman di bangku empuk gereja kita, atau kita menjadi agen perubahan yang Allah kehendaki? Terlalu lama gereja terjebak dalam dualisme yang memisahkan yang rohani dari yang sosial. Kita berdoa dengan khusyuk di hari Minggu namun buta terhadap ketidakadilan di hari Senin. Kita menyanyikan "Kasih-Nya Seperti Sungai" namun membiarkan sungai keadilan mengering di sekitar kita.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak gereja masih terjebak dalam pelayanan karitatif semata. Membagi-bagikan sembako saat Natal, memberikan amplop kepada yang membutuhkan. Semua itu baik, tetapi tidak cukup! Seperti memberi plester pada luka yang membutuhkan operasi. Gereja dipanggil untuk pelayanan transformatif, mengatasi akar masalah ketidakadilan, bukan hanya gejalanya.
Bayangkan jika setiap gereja menjadi pusat keadilan di komunitasnya. Bukan hanya tempat ibadah, tetapi tempat di mana korupsi dilawan, di mana hak-hak buruh diperjuangkan, di mana pendidikan anti-korupsi diajarkan kepada generasi muda. Bayangkan jika setiap orang Kristen menjadi agen integritas di tempat kerjanya, menolak suap meski itu berarti kehilangan promosi, melaporkan ketidakadilan meski itu berarti menjadi tidak populer.
Saya teringat kisah seorang pegawai negeri Kristen di sebuah instansi pemerintah. Ketika atasannya meminta dia memanipulasi anggaran proyek, dengan gemetar namun tegas dia menolak. "Saya tidak bisa melakukan itu, Pak. Iman saya tidak mengizinkan." Dia kehilangan jabatannya, dipindahkan ke posisi yang tidak strategis. Namun beberapa tahun kemudian, ketika kasus korupsi di instansi itu terbongkar, dia adalah satu-satunya yang tidak terseret. Lebih dari itu, integritasnya menjadi kesaksian yang mengubahkan beberapa rekan kerjanya. Itulah kuasa dari menolak membelokkan hukum!
Namun jangan salah paham. Menghormati hukum bukan berarti menjadi legalistik tanpa kasih. Ingat hakim yang saya ceritakan di awal? Dia menegakkan hukum namun juga menunjukkan kasih. Begitulah seharusnya gereja. Tegas terhadap ketidakadilan namun penuh belas kasihan kepada yang jatuh. Melawan sistem yang korup namun mengasihi individu yang tersesat.
GMIM yang pernah melatih jemaatnya menjadi fasilitator tanggap bencana, GMIM dengan panti asuhannya, GMIM dengan program pemberdayaan UMKM-nya, semuanya adalah contoh nyata gereja yang tidak hanya berkhotbah tentang keadilan tetapi mewujudkannya. Mereka mengerti bahwa ibadah sejati, seperti yang Rasul Paulus katakan, adalah mempersembahkan seluruh hidup kita sebagai persembahan yang hidup dan kudus. Bukan hanya apa yang kita lakukan di gedung gereja, tetapi bagaimana kita hidup di luar sana.
Saudara-saudari, dunia sedang memperhatikan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, di tengah maraknya korupsi dan ketidakadilan, dunia bertanya: di manakah suara moral yang dapat dipercaya? Inilah saatnya gereja bangkit! Bukan dengan retorika kosong, tetapi dengan tindakan nyata. Bukan dengan menghakimi dari menara gading, tetapi dengan turun ke parit penderitaan manusia.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Periksa hati kita: adakah kita pernah membelokkan kebenaran demi keuntungan? Adakah kita pernah menutup mata terhadap ketidakadilan karena tidak mau repot? Bertobatlah! Lalu bangkit dengan komitmen baru. Di tempat kerja, jadilah benteng integritas. Di lingkungan, jadilah suara bagi yang tidak bersuara. Di gereja, dorong pelayanan yang transformatif, bukan sekadar karitatif.
Keluaran dua puluh tiga bukan sekadar sejarah kuno. Ini adalah panggilan Allah yang bergema hingga hari ini. Jangan membelokkan hukum! Hormati hak setiap manusia! Bukan karena itu politically correct, bukan karena itu trendy, tetapi karena itu mencerminkan karakter Allah kita. Allah yang adil namun penuh kasih. Allah yang kudus namun berbelas kasihan. Allah yang menuntut kebenaran namun menawarkan pengampunan.
Ketika kita keluar dari pintu gereja hari ini, kita membawa tanggung jawab suci. Menjadi terang di tengah kegelapan korupsi. Menjadi garam yang mencegah kebusukan ketidakadilan. Menjadi suara yang menyuarakan kebenaran ketika semua orang memilih diam. Ini tidak mudah. Akan ada harga yang harus dibayar. Namun ingatlah: Yesus membayar harga tertinggi di kayu salib agar keadilan dan kasih dapat berdampingan.
Jemaat yang dikasihi Tuhan, waktunya telah tiba. Dunia menunggu manifestasi anak-anak Allah yang sejati. Mereka yang tidak hanya pandai berkhotbah tetapi juga berani bertindak. Mereka yang tidak membelokkan hukum demi keuntungan tetapi menegakkan keadilan demi kemuliaan Allah. Mereka yang menghormati setiap manusia sebagai gambar Allah, dari presiden hingga pemulung, dari pendeta hingga penjahat yang bertobat.
Biarlah gereja kita, menjadi mercusuar harapan di tengah lautan keputusasaan. Biarlah hidup kita menjadi surat Kristus yang terbuka, dibaca oleh semua orang, yang bersaksi bahwa keadilan dan kasih bukan mimpi utopis tetapi realitas Kerajaan Allah yang dapat diwujudkan di sini dan sekarang. Amin.