Khotbah GMIM
MENU
Khotbah MTPJ GMIM 12 - 18 Oktober 2025 - Khotbah GMIM

Khotbah MTPJ GMIM 12 - 18 Oktober 2025

Firman Yang Berbuah Dalam Ketekunan

Lukas 8:4-15

Firman Yang Berbuah Dalam Ketekunan

Saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus,

Saat ini kita diperhadapkan pada sebuah perumpamaan yang telah diucapkan Yesus lebih dari dua ribu tahun yang lalu, namun relevansinya menusuk begitu tajam ke dalam realitas kehidupan kita hingga hari ini. Ketika Yesus berdiri di tepi Danau Galilea, dikelilingi oleh orang banyak yang berdesakan untuk mendengar-Nya, Ia tidak berbicara tentang hal-hal yang rumit atau filosofis. Ia berbicara tentang seorang petani yang keluar untuk menabur benih. Sederhana, bukan? Namun di balik kesederhanaan itu tersembunyi diagnosis spiritual yang begitu mendalam tentang kondisi hati kita masing-masing.

Perumpamaan ini bukan sekadar cerita agraris tentang pertanian. Ini adalah cermin yang Yesus angkat di hadapan setiap kita, memaksa kita untuk bertanya: jenis tanah apakah hati saya? Karena Yesus dengan tegas menyatakan bahwa benih yang ditaburkan adalah Firman Allah itu sendiri. Benih itu sempurna, penuh dengan potensi kehidupan ilahi, ditaburkan tanpa diskriminasi kepada setiap jenis tanah. Penabur tidak pelit, tidak pilih kasih. Namun yang menentukan apakah benih itu akan mati, layu, tercekik, atau berbuah seratus kali lipat bukanlah kualitas benih itu, melainkan kondisi tanah tempat ia jatuh. Dan tanah itu, saudara-saudari, adalah hati kita.

Mari kita telusuri bersama empat jenis tanah yang Yesus gambarkan, karena di dalam keempat jenis ini, kita akan menemukan potret diri kita sendiri atau orang-orang di sekitar kita. Tanah pertama adalah tanah di pinggir jalan, keras, dipadatkan oleh lalu-lalang ribuan kaki. Ketika benih jatuh di sana, ia bahkan tidak sempat meresap. Burung-burung datang dan melahapnya sebelum ia sempat berakar. Yesus menjelaskan bahwa ini adalah gambaran hati yang apatis, tertutup, keras kepala terhadap kebenaran. Iblis segera datang dan merampas Firman dari hati mereka sebelum ia sempat dipahami atau dicamkan. Ini adalah tragedi dari mereka yang mendengar khotbah demi khotbah, namun pulang dengan hati yang sama kerasnya seperti saat mereka datang.

Tanah kedua adalah tanah berbatu, dangkal, tanpa kedalaman. Benih di sini tumbuh dengan cepat, bahkan dengan antusiasme yang menggembirakan. Namun ketika matahari terik menyengat, ketika ujian dan penganiayaan datang, tanaman itu layu karena tidak memiliki akar yang dalam. Ini adalah potret iman yang emosional namun dangkal. Mereka yang menerima Firman dengan sukacita luar biasa pada saat kebangunan rohani, konferensi yang menggebu-gebu, atau momen-momen spiritual yang tinggi. Namun ketika harga pemuridan harus dibayar, ketika mengikut Kristus berarti kehilangan reputasi, pekerjaan, atau kenyamanan, mereka mundur. Mereka gugur bukan karena tidak pernah percaya, tetapi karena iman mereka tidak memiliki kedalaman teologis dan komitmen yang diperlukan untuk bertahan.

Tanah ketiga adalah yang paling berbahaya bagi kita yang hidup di zaman ini: tanah berduri. Di sini benih tidak hanya jatuh dan mati, tidak hanya tumbuh lalu layu. Di sini benih tumbuh! Ada kehidupan, ada pertumbuhan, ada harapan. Namun kemudian, secara perlahan dan hampir tidak terlihat, duri-duri ikut tumbuh bersamanya. Dan duri-duri itu, saudara-saudari, adalah kekhawatiran hidup, kekayaan, dan kenikmatan dunia. Mereka tidak membunuh tanaman itu seketika, tetapi mencekiknya secara bertahap hingga ia tidak pernah mencapai kematangan. Tidak pernah berbuah. Inilah ancaman terbesar bagi gereja kontemporer kita. Bukan penganiayaan dari luar, tetapi distraksi dari dalam. Bukan pedang yang membunuh, tetapi kenyamanan yang membius.

Bayangkan seorang bapak yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ia setia beribadah setiap Minggu, aktif dalam kolom, bahkan menjadi majelis di jemaatnya. Namun pelan-pelan, berbagai kesibukan mulai menggerogoti. Bagi yang petani, musim panen menjadi begitu menyita hingga ibadah kolom pun terlupakan. Bagi yang PNS atau ASN, tuntutan pekerjaan dan urusan kantor mulai memakan waktu teduh. Bagi yang berdagang, pikiran terus berkutat pada omzet dan persaingan. Ibadah-ibadah kolom mulai dilewatkan karena ada acara keluarga yang "lebih penting". Handphone tak pernah lepas dari tangan, bahkan saat khotbah dibawakan, jemari sibuk scroll keatas kebawah. Arisan dan pesta demi pesta menjadi prioritas baru. Uang yang dulu untuk persembahan syukur, kini lebih banyak untuk renovasi rumah yang ketiga kalinya atau kendaraan yang lebih besar dan baru agar tidak kalah dengan tetangga. Dan tanpa disadari, kehidupan rohaninya stagnan. Masih ke gereja, tetapi hanya rutinitas. Masih berdoa, tetapi tanpa kedalaman. Tidak meninggalkan Tuhan, tetapi juga tidak sungguh-sungguh hidup bagi-Nya. Tercekik oleh duri-duri yang tampak begitu wajar, begitu dapat dibenarkan, bahkan begitu dikagumi oleh masyarakat sekitar.

Namun ada tanah keempat. Tanah yang baik. Dan di sinilah kita menemukan kunci dari seluruh perumpamaan ini. Yesus mendefinisikan tanah yang baik dengan sangat spesifik: mereka yang mendengar Firman dengan hati yang mulia dan baik, yang menyimpannya, dan yang menghasilkan buah dalam ketekunan. Perhatikan struktur tiga langkah ini dengan seksama, karena di dalamnya tersimpan rahasia kehidupan rohani yang berbuah.

Pertama, mereka mendengar dengan hati yang reseptif. Ini bukan sekadar mendengar secara akustik, tetapi mendengar dengan kerendahan hati, dengan kesediaan untuk dikoreksi, dengan kerinduan untuk ditransformasi. Kedua, mereka menyimpan Firman itu. Kata "menyimpan" di sini sangat kaya. Ini bukan sekadar mengingat informasi, tetapi mencamkan, merenungkan dengan mendalam, membiarkan Firman itu meresap ke dalam seluruh kehidupan sampai ia menemukan maknanya yang relevan bagi setiap aspek eksistensi kita. Mereka melindungi Firman itu seperti petani melindungi benih terbaiknya.

Namun elemen ketiga adalah yang paling menentukan: mereka menghasilkan buah dalam ketekunan. Kata Yunani yang digunakan di sini adalah "hupomone", yang secara literal berarti "tinggal di bawah". Ini adalah daya tahan aktif yang gigih di bawah beban, di bawah tekanan, di bawah kesulitan. Ini bukan kesabaran pasif yang hanya menunggu waktu berlalu, tetapi ketabahan yang terus bergerak maju walau badai mengamuk. Dan inilah, saudara-saudari, yang memisahkan tanah yang baik dari ketiga tanah lainnya.

Ketekunan adalah apa yang hilang dari tanah berbatu ketika ujian datang. Ketekunan adalah apa yang hilang dari tanah berduri ketika godaan dunia menarik. Ketekunan adalah disiplin rohani yang memastikan bahwa benih yang telah ditanam tidak terlepas dari akarnya dan tidak dicekik di tengah pertumbuhannya. Karena pertumbuhan rohani bukanlah sprint, melainkan maraton. Bukan ledakan emosional sesaat, melainkan kesetiaan yang berkelanjutan hari demi hari, tahun demi tahun, dekade demi dekade.

Di zaman yang menuntut segala sesuatu secara instan ini, ketekunan menjadi kebajikan yang semakin langka namun semakin krusial. Kita hidup dalam budaya yang mengharapkan hasil rohani seperti memesan makanan cepat saji: cepat, mudah, tanpa proses yang merepotkan. Kita ingin transformasi karakter tanpa disiplin spiritual. Kita ingin kedewasaan rohani tanpa pergumulan yang menyakitkan. Kita ingin panen seratus kali lipat tanpa musim-musim kering yang menguji kesetiaan kita. Namun Yesus dengan tegas mengatakan: tidak ada jalan pintas menuju kehidupan yang berbuah. Jalannya adalah ketekunan.

Saya ingin mengajak kita semua untuk melakukan diagnosis diri yang jujur pagi ini. Di manakah posisi hati kita? Apakah kita adalah tanah pinggir jalan yang keras, yang mendengar Firman minggu demi minggu namun tidak pernah membiarkannya meresap? Apakah kita adalah tanah berbatu yang antusias pada momen-momen spiritual yang tinggi, namun goyah ketika harga pemuridan harus dibayar? Atau apakah kita adalah tanah berduri, yang tampaknya bertumbuh namun sesungguhnya sedang tercekik perlahan oleh ambisi duniawi, kesibukan yang tidak terkendali, atau percintaan pada kenyamanan material?

Pertanyaan yang paling tajam adalah untuk kita yang telah lama percaya, yang telah bertahun-tahun duduk di bangku gereja: sudahkah kita berbuah? Karena Yesus tidak memanggil kita untuk menjadi pendengar Firman yang profesional, melainkan pelaku yang berbuah. Dan buah itu, menurut Yesus, hanya muncul dalam konteks ketekunan. Buah itu adalah transformasi karakter yang nyata, pelayanan yang setia, kehidupan yang memuliakan Allah dalam setiap detail keseharian kita, bahkan ketika tidak ada yang melihat, bahkan ketika tidak ada yang bertepuk tangan.

Kabar baiknya adalah bahwa jenis tanah kita bukanlah takdir yang tidak dapat diubah. Hati dapat dipersiapkan. Tanah dapat diolah. Batu-batu dapat disingkirkan. Duri-duri dapat dicabut. Namun ini menuntut kesengajaan, komitmen, dan ya, ketekunan itu sendiri. Kita harus secara aktif menjaga hati kita, mengalokasikan waktu berkualitas untuk mendengarkan dan merenungkan Firman, berpegang teguh pada kebenaran walau menghadapi ujian, dan fokus pada buah kekal yang dapat dipersembahkan kepada Kristus, bukan pada kenikmatan sementara yang ditawarkan dunia.

Izinkan saya menutup dengan sebuah janji yang indah. Yesus berkata bahwa tanah yang baik menghasilkan buah seratus kali lipat. Ini bukan hasil yang biasa, ini adalah kelimpahan supernatural. Ini adalah bukti bahwa ketika kita setia mempersiapkan hati kita dan bertekun dalam Firman, Allah bekerja melampaui kapasitas natural kita. Kuasa-Nya disempurnakan dalam kelemahan kita. Roh Kudus-Nya menghasilkan buah yang tidak mungkin kita hasilkan sendiri.

Maka hari ini, saudara-saudari, marilah kita memutuskan untuk menjadi tanah yang baik. Bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita bersedia. Bukan karena kita kuat, tetapi karena kita setia. Marilah kita menyambut Firman Allah dengan hati yang rendah hati, menyimpannya dengan tekun, dan menghasilkan buah dalam ketekunan yang tidak pernah menyerah. Karena inilah kehidupan yang Kristus panggil kita untuk jalani: kehidupan yang berbuah, berkelimpahan, dan kekal. Amin.