Berbahagialah Bangsa Yang Allahnya Ialah Tuhan
Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan,
Pagi ini kita berdiri di hadapan sebuah teks yang luar biasa, sebuah mazmur yang lahir dari pergumulan seorang raja yang mengenal baik arti peperangan, namun juga merindukan kedamaian. Mazmur 144 membawa kita dalam perjalanan yang menggetarkan—dari medan pertempuran menuju visi tentang bangsa yang sejahtera, dari tangan yang terlatih untuk perang menuju tangan yang diangkat dalam pujian, dari jeritan perang menuju ketiadaan jeritan sengsara di lapangan-lapangan kehidupan.
Ketika Daud membuka mulutnya dalam mazmur ini, dia tidak memulai dengan keluhan atau permintaan. Dia memulai dengan pujian yang penuh kesadaran: "Terpujilah TUHAN, gunung batuku, yang melatih tanganku untuk bertempur dan jari-jariku untuk berperang." Perhatikan kedalaman pengakuan ini. Daud, sang pejuang legendaris yang telah mengalahkan Goliat, yang telah memimpin bala tentara Israel dalam puluhan pertempuran, yang namanya menggema sebagai pahlawan militer—justru mengakui bahwa setiap kecakapannya, setiap strategi perangnya, setiap kemenangan yang diraihnya, bukanlah hasil keahliannya sendiri. Tangannya dilatih. Jarinya diajar. Oleh siapa? Oleh Allah sendiri.
Ini adalah kebenaran yang menghancurkan kesombongan kita. Di zaman yang merayakan pencapaian individual, yang mengagungkan konsep "self-made success," yang terobsesi dengan personal branding dan kehebatan diri, Mazmur ini menampar kita dengan lembut namun tegas: apa pun yang kita capai, apa pun keahlian yang kita miliki, apa pun kesuksesan yang kita raih—semuanya adalah hasil pelatihan Ilahi. Allah adalah Guru Perang kita. Dia yang membentuk kemampuan kita, mengasah talenta kita, membuka jalan bagi karier kita. Kita hanyalah murid yang dilatih oleh Sang Guru Agung.
Namun segera setelah pujian ini, Daud jatuh ke dalam renungan yang merendahkan diri. Dia bertanya dengan heran: "Ya TUHAN, apakah manusia itu, sehingga Engkau memperhatikannya?" Dan dia menjawab pertanyaannya sendiri dengan metafora yang menusuk: manusia itu seperti angin, seperti bayangan yang lewat. Kata Ibrani yang digunakan di sini adalah "hebel"—kata yang sama dengan yang berulang kali muncul dalam Pengkhotbah, yang berarti sia-sia, kesia-siaan, seperti uap yang menghilang. Kita adalah bayangan yang tak bertahan, angin yang berlalu, uap yang segera lenyap.
Saudara-saudara yang terkasih,
Kontras ini mencengangkan. Allah yang dapat menekuk langit dan menyentuh gunung sehingga berasap, Allah yang melontarkan kilat dan menyerakkan musuh—Allah yang demikian dahsyat ini—memperhatikan manusia yang rapuh, yang fana, yang sementara seperti bayangan. Mengapa? Bukan karena kita berharga dalam diri kita sendiri. Bukan karena kita layak. Tetapi karena anugerah-Nya yang tak terpahami. Karena kasih-Nya yang melampaui logika. Ini adalah fondasi dari semua yang kita lakukan: bukan kehebatan kita, tetapi kemurahan-Nya. Bukan kekuatan kita, tetapi belas kasihan-Nya.
Pemahaman ini membawa kita pada peperangan yang sesungguhnya. Daud memang berbicara tentang pedang dan musuh asing, tentang orang-orang yang mulutnya penuh tipu daya dan tangannya adalah tangan dusta. Tetapi peperangan yang kita hadapi hari ini, saudara-saudari, lebih kompleks dari sekadar konflik fisik. Kita berhadapan dengan musuh yang lebih licik: kepalsuan yang dikemas dalam kebenaran, manipulasi informasi yang membingungkan, erosi integritas yang perlahan namun pasti, godaan untuk berkompromi dengan standar moral demi kenyamanan atau keuntungan.
"Tangan kanan dusta" yang disebutkan Daud kini menjelma dalam berbagai bentuk di sekitar kita. Korupsi yang dinormalisasi. Kebohongan yang disebut strategi. Ketidakjujuran yang diberi label diplomasi. Ketidakadilan yang dilegitimasi oleh sistem. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah ketika semua ini merasuki juga komunitas orang percaya, ketika kita sendiri mulai berkompromi, mulai berpikir bahwa untuk bertahan di dunia ini, kita harus bermain dengan aturan dunia.
Mazmur ini berteriak kepada kita: Tidak! Kita dilatih oleh Allah untuk bertempur dengan cara yang berbeda. Tangan kita dilatih bukan untuk menggenggam tangan dusta, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Jari-jari kita diasah bukan untuk menunjuk kesalahan orang lain sambil menyembunyikan dosa kita sendiri, tetapi untuk menunjuk jalan kebenaran dengan integritas. Allah melatih para profesional Kristen untuk membawa keadilan di pengadilan. Allah mengajar para pemimpin Kristen untuk memimpin dengan transparansi. Allah membentuk para pengusaha Kristen untuk berbisnis dengan kejujuran. Allah membekali para pendidik Kristen untuk mengajar dengan kebenaran.
Tetapi perhatikan—Mazmur ini tidak berhenti pada kemenangan pribadi. Inilah kedalaman luar biasa dari teks kita hari ini. Setelah berbicara tentang peperangan dan pembebasan di ayat 1 sampai 11, tiba-tiba fokusnya bergeser secara dramatis di ayat 12. Dari raja yang bertempur, kita beralih ke rakyat yang sejahtera. Dari doa untuk kemenangan, kita melompat ke visi tentang kesejahteraan komunal. Mengapa? Karena dalam pemahaman Alkitab, kemenangan yang sejati harus menghasilkan shalom—kedamaian yang menyeluruh, kesejahteraan yang holistik.
Daud mulai memimpikan bangsa yang berbeda. Dia melihat anak-anak laki-laki seperti tanaman yang tumbuh dengan subur—bukan tanaman liar yang tumbuh sembarangan, tetapi tanaman yang dirawat, dipelihara, diarahkan. Mereka adalah generasi yang dididik dengan baik, yang memiliki konstitusi sehat secara fisik, mental, dan rohani. Mereka adalah masa depan yang menjanjikan, yang akan berguna bagi gereja dan negara. Bukan anak-anak yang hanya dibesarkan untuk kepentingan keluarga semata, tetapi dipersiapkan untuk menjadi berkat bagi bangsa.
Dan dia melihat anak-anak perempuan seperti tiang-tiang penjuru istana—tinggi, cantik, kokoh, dipoles dengan indah. Mereka bukan sekadar ornamen, tetapi penyangga struktural. Mereka adalah pilar yang menopang kestabilan rumah tangga dan masyarakat. Mereka adalah penjaga moral, pembawa keanggunan, pemimpin yang dihiasi dengan kasih karunia dan pekerjaan baik.
Visi ini menantang kita hari ini. Apa yang kita lakukan dengan generasi muda di gereja kita? Apakah kita hanya mengajarkan mereka untuk "beriman" dalam pengertian yang sempit—rajin ke gereja, taat beribadah, saleh secara pribadi—tetapi gagal mempersiapkan mereka untuk menjadi pilar bangsa? Apakah kita telah menciptakan kaum muda Kristen yang terpisah dari realitas kebangsaan, yang tidak memiliki visi untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa? Jika demikian, kita telah mengkhianati ideal Allah yang tertuang dalam Mazmur ini.
Allah tidak melatih tangan Daud hanya supaya dia bisa mengalahkan musuh pribadinya. Allah melatih Daud supaya melalui kepemimpinannya, seluruh bangsa Israel bisa menikmati kesejahteraan. Demikian pula, Allah tidak membekali kita dengan talenta, pendidikan, dan kesempatan hanya untuk kesuksesan pribadi kita. Kita dilatih untuk menjadi berkat bagi bangsa.
Perhatikan detail kesejahteraan yang didambakan Daud: gudang-gudang penuh, ternak berlipat ganda, lembu sarat, tidak ada kegagalan, tidak ada keguguran. Ini adalah kemakmuran ekonomi yang nyata. Tetapi yang paling menggetarkan adalah permintaan terakhir: "Tidak ada jeritan sengsara di lapangan-lapangan kita." Inilah definisi shalom yang sejati. Bukan hanya ketiadaan perang, tetapi ketiadaan jeritan—jeritan kelaparan, jeritan ketidakadilan, jeritan penindasan, jeritan kemiskinan yang diabaikan.
Saudara-saudari yang diberkati Tuhan Yesus, inilah panggilan kita. Kita yang telah dilatih oleh Allah, kita yang telah menerima kasih karunia keselamatan dalam Kristus, kita yang telah diberkati—kita dipanggil untuk memastikan bahwa tidak ada lagi jeritan sengsara di lapangan-lapangan bangsa kita. Bukan dengan retorika kosong. Bukan dengan slogan-slogan rohani yang terdengar indah tetapi tanpa aksi. Tetapi dengan keterlibatan nyata, dengan perjuangan untuk keadilan sosial, dengan keberanian untuk membela yang lemah, dengan integritas dalam setiap bidang kehidupan kita.
Yeremia mengatakan bahwa mengenal Allah berarti melakukan keadilan dan kebenaran, mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Ini bukan teologi pilihan. Ini adalah definisi iman yang hidup. Jika kita mengaku mengenal Allah tetapi tidak peduli pada jeritan sengsara di sekitar kita, kita adalah pembohong.
Dan kemudian sampailah kita pada klimaks mazmur ini, pernyataan yang merangkum segalanya: "Berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya! Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah TUHAN!" Kebahagiaan bangsa tidak diukur dari GDP-nya. Tidak diukur dari kekuatan militernya. Tidak diukur dari pencapaian teknologinya. Kebahagiaan sejati datang ketika sebuah bangsa mengakui kedaulatan Allah, ketika keadilan ditegakkan, ketika kebenaran dijunjung tinggi, ketika yang lemah dilindungi, ketika integritas menjadi norma bukan pengecualian.
Tetapi ini hanya mungkin jika ada umat yang dilatih oleh Allah, yang tangannya mahir bukan untuk memperkaya diri tetapi untuk melayani, yang jari-jarinya terampil bukan untuk memanipulasi tetapi untuk membangun. Ini hanya mungkin jika generasi muda kita dipersiapkan sebagai tanaman yang subur dan tiang yang kokoh bagi bangsa. Ini hanya mungkin jika kita menolak untuk diam ketika ada ketidakadilan, jika kita berani bersuara ketika kebenaran terancam, jika kita konsisten dalam integritas meskipun itu merugikan kita.
Jadi hari ini, pertanyaannya bukan apakah Allah cukup kuat untuk mengubah bangsa ini. Dia adalah Allah yang dapat menekuk langit dan melontarkan kilat. Pertanyaannya adalah: apakah kita bersedia menjadi tangan yang Dia latih? Apakah kita rela menjadi instrumen-Nya untuk membawa keadilan dan kebenaran? Apakah kita siap membayar harga untuk menjadi pilar bangsa?
Biarlah kita keluar dari tempat ini bukan hanya sebagai individu yang diberkati, tetapi sebagai komunitas yang terlatih untuk berperang melawan ketidakadilan, untuk berjuang bagi kebenaran, dan untuk mewujudkan visi Allah tentang bangsa yang benar-benar berbahagia—bangsa yang Allahnya adalah TUHAN. Amin.