Khotbah GMIM
MENU
Khotbah Zakharia 9:9-17 | MTPJ GMIM 14 - 20 Desember 2025 - Khotbah GMIM

Khotbah Zakharia 9:9-17 | MTPJ GMIM 14 - 20 Desember 2025

Lihatlah Rajamu Datang Kepadamu Ia Adil dan Jaya

Zakharia 9:9-17

Lihatlah Rajamu Datang Kepadamu Ia Adil dan Jaya

Saudara-saudari yang terkasih,

Izinkan saya memulai dengan sebuah pertanyaan yang mungkin pernah mengganggu pikiran kita semua. Pernahkah Anda menunggu sesuatu dengan penuh harapan, lalu ketika itu datang, bentuknya sama sekali tidak seperti yang Anda bayangkan? Mungkin Anda menunggu pertolongan, dan ketika datang, itu bukan dalam bentuk yang Anda duga. Atau mungkin Anda membayangkan pemimpin yang kuat, gagah, penuh kharisma... tapi yang muncul adalah seseorang yang tampak begitu... biasa. Nah, inilah tepatnya yang terjadi pada umat Israel ribuan tahun lalu. Dan cerita ini, saudara-saudari, sangat relevan untuk kita hari ini.

Mari kita membuka Kitab Zakharia pasal 9, ayat 9 hingga 17. Zakharia adalah seorang nabi yang berbicara kepada umat yang baru saja pulang dari pembuangan Babel. Bayangkan kondisi mereka—pulang dengan penuh harapan, tapi kenyataannya? Bait Allah masih hancur, kehidupan tidak seperti yang dijanjikan, dan mereka mulai kehilangan semangat. Puluhan tahun sudah berlalu, dan mereka masih berada dalam kesuraman. Mereka lelah. Mereka kecewa. Mereka membutuhkan sesuatu... atau lebih tepatnya, Seseorang.

Dan kemudian Zakharia berdiri di tengah-tengah mereka dengan nubuat yang sangat luar biasa. Dia berkata, "Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion! Bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, Rajamu datang kepadamu; Ia adil dan jaya." Sekarang, coba pikirkan kata-kata itu. Raja yang datang. Adil dan jaya. Dalam bahasa Ibrani, kata "bersorak-sorak" di sini adalah gil—sukacita yang meluap-luap, yang tidak bisa ditahan, yang kuat dan bersemangat. Ini bukan senyum sopan atau tepuk tangan pendek. Ini adalah kegirangan yang menggelegar! Mengapa? Karena Raja mereka akhirnya datang.

Tapi... ada sesuatu yang aneh di sini, teman-teman. Raja ini adil—tsaddiyg—berbeda dengan raja-raja lain yang seringkali korup dan tidak peduli pada rakyat kecil. Raja ini juga jaya—yasha'—Dia membawa keselamatan dan kemenangan. Luar biasa, bukan? Anda bisa membayangkan harapan yang membuncah. Akhirnya, seorang raja yang benar-benar akan membebaskan mereka! Seorang pemimpin yang akan mengalahkan musuh-musuh mereka dengan kekuatan militer yang dahsyat!

Namun kemudian nubuat itu berlanjut dengan cara yang... sangat tidak terduga. "Ia menunggangi seekor keledai, seekor keledai beban yang muda."

Tunggu sebentar. Keledai? Bukan kuda perang yang gagah? Dalam dunia kuno, raja-raja yang perkasa selalu menunggang kuda. Kuda adalah simbol militerisme, kekuatan, dominasi. Tapi keledai? Keledai adalah hewan untuk beban, untuk kerja sehari-hari. Keledai melambangkan kerendahan hati dan... damai. Ini paradoks yang luar biasa. Bagaimana mungkin seorang raja yang jaya, yang akan membawa kemenangan, datang dengan cara yang begitu rendah hati?

Dan di sinilah kita menemukan keindahan yang sesungguhnya dari nubuat Zakharia. Raja ini bukan seperti raja-raja lainnya. Keselamatan yang Dia bawa bukan melalui kekerasan atau kekuatan militer yang brutal. Dia datang dalam damai. Nubuat ini berkata, "Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem, busur perang akan dilenyapkan." Teman-teman, ini bukan hanya tentang menghancurkan senjata musuh. Ini tentang melenyapkan senjata umat-Nya sendiri. Tidak ada lagi perang. Tidak ada lagi konflik, bahkan konflik internal antara Efraim dan Yerusalem yang sudah terpecah sejak zaman Salomo. Raja ini menyatukan, bukan memecah belah. Dia "memberitakan damai kepada bangsa-bangsa."

Sekarang, mari kita melompat ribuan tahun ke depan. Hari Minggu Palma. Yesus memasuki Yerusalem. Dan apa yang Dia lakukan? Dia menunggangi seekor keledai. Tepat seperti yang dinubuatkan Zakharia. Orang-orang bersorak, mereka melambaikan daun palem, mereka berteriak "Hosana!" Mereka mengenali bahwa Raja mereka telah datang. Tapi saudara-saudari, banyak dari mereka tidak benar-benar mengerti. Mereka mengharapkan Yesus untuk menggulingkan pemerintahan Romawi. Mereka ingin kekuatan politik. Mereka ingin revolusi bersenjata.

Tapi Yesus? Dia justru merendahkan diri. Dia taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Ini adalah model keselamatan yang sama sekali berbeda. Penebusan. Kerendahan hati. Bukan kekuatan duniawi. Dan inilah yang sering kita lewatkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita hidup di dunia yang terus-menerus meneriakkan kepada kita: jadilah kuat, jadilah dominan, tunjukkan kekuatanmu, jadilah nomor satu. Tapi Raja kita? Dia datang dengan cara yang sepenuhnya berlawanan.

Izinkan saya bertanya kepada Anda—dalam kehidupan sehari-hari Anda, ketika menghadapi konflik, apa respons pertama Anda? Apakah kita berusaha untuk "menang" dengan segala cara? Apakah kita menggunakan kekuatan, baik itu kekuatan posisi, kekuatan kata-kata yang menyakitkan, atau kekuatan diam yang pasif-agresif? Atau... apakah kita memilih jalan kerendahan hati seperti Raja kita? Saya tahu ini terdengar sulit. Percayalah, saya sendiri masih bergumul dengan ini. Tapi inilah yang diminta dari kita sebagai pengikut Kristus.

Nah, mari kita lanjutkan ke bagian kedua dari perikop kita. Ayat 11 dan 12 berbicara tentang pemulihan yang didasarkan pada perjanjian. "Tentang engkau juga: oleh karena darah perjanjian-Ku dengan engkau, Aku melepaskan orang-orang tawananmu dari lobang yang tidak berair." Lobang yang tidak berair—bor dalam bahasa Ibrani—adalah gambaran kiasan untuk penjara yang dalam, tempat yang penuh keputusasaan, tempat di mana tidak ada kehidupan. Mungkin Anda pernah merasa seperti itu. Terjebak dalam situasi yang tampaknya tidak ada jalan keluar. Mungkin itu hutang yang menumpuk, mungkin itu pernikahan yang hampir hancur, mungkin itu penyakit yang tidak kunjung sembuh, mungkin itu kebiasaan buruk yang tidak bisa Anda hentikan.

Tapi dengarkan janji Tuhan: "Kembalilah ke kota bentengmu, hai orang-orang tawanan yang penuh harapan! Pada hari ini juga Kuberitahukan: Aku akan memberi ganti kepadamu dua kali lipat." Dua kali lipat! Tuhan tidak hanya memulihkan apa yang hilang—Dia memberikan berkat yang melimpah, jauh melebihi penderitaan yang telah kita alami. Ini bukan karena jasa kita. Ini bukan karena kita cukup baik atau cukup kuat. Ini semata-mata karena kesetiaan-Nya pada perjanjian-Nya. Dan bagi kita yang hidup setelah Kristus, perjanjian itu disegel dengan darah-Nya sendiri di kayu salib.

Coba pikirkan sejenak tentang hidup Anda. Apakah ada area di mana Anda merasa seperti berada di "lobang yang tidak berair"? Mungkin Anda sudah menyerah. Mungkin Anda berpikir tidak ada harapan lagi. Tapi Tuhan memanggil Anda hari ini untuk kembali ke "kota benteng"—kembali kepada-Nya, di mana ada keamanan, perlindungan, dan pengharapan yang tidak akan meredup. Dan Dia menjanjikan restitusi ganda. Tidak hanya pemulihan, tapi pemulihan yang berlimpah.

Sekarang, perikop kita mengambil giliran yang menarik. Dari Raja yang lembut menunggang keledai, Zakharia beralih ke gambaran Tuhan sebagai Panglima Perang yang perkasa. Ayat 13-15 mengatakan bahwa Tuhan akan melenturkan Yehuda seperti busur dan mengisinya dengan Efraim sebagai anak panah. Dia akan berjuang melawan musuh-musuh umat-Nya. Dia akan menampakkan diri, anak panah-Nya melayang keluar seperti kilat, dan Dia akan meniup sangkakala. "TUHAN semesta alam akan melindungi mereka."

Ini mengingatkan kita bahwa damai sejahtera yang sejati tidak datang dengan mudah. Ada musuh-musuh spiritual yang harus dikalahkan terlebih dahulu. Ada kekuatan-kekuatan yang melawan kehendak Tuhan yang harus dilenyapkan. Dan di sinilah kita melihat keseimbangan yang indah: Mesias datang pertama kali dalam kerendahan hati untuk menebus kita, tetapi Dia akan datang kedua kali sebagai Raja yang Berkuasa untuk menegakkan kerajaan-Nya secara penuh.

Anda mungkin bertanya, apa artinya ini bagi kita hari ini? Nah, ini berarti bahwa sementara kita dipanggil untuk hidup dalam kerendahan hati dan menjadi pembawa damai, kita juga dapat yakin bahwa Tuhan sedang berperang untuk kita. Kita tidak sendirian dalam pergumulan kita. Ketika kita menghadapi "Yunani"—musuh-musuh spiritual, pencobaan, kejahatan yang terstruktur—Tuhan semesta alam, Yahweh Zebaoth, ada di pihak kita. Dia yang memiliki segala tentara surgawi berada di barisan kita.

Dan kemudian perikop kita ditutup dengan visi yang sangat indah. Ayat 16 dan 17 mengatakan, "TUHAN, Allah mereka, akan menyelamatkan mereka pada hari itu sebagai kawanan domba umat-Nya; sungguh, mereka bagaikan permata-permata mahkota yang berkilauan di atas tanah-Nya." Permata mahkota. Bukan lagi tawanan yang putus asa. Bukan lagi umat yang patah semangat. Tapi permata mahkota—natsats—kebanggaan Tuhan, milik-Nya yang sangat berharga, yang berkilauan memantulkan kemuliaan-Nya.

Dan kehidupan di bawah pemerintahan Mesias ini digambarkan dengan kelimpahan: "Betapa baik dan indahnya mereka! Gandum membuat teruna-teruna bertenaga dan anggur membuat anak-anak dara berseri-seri." Gandum yang melimpah—makanan pokok, kebutuhan dasar terpenuhi. Anggur yang melimpah—sukacita, perayaan, kehidupan yang penuh. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, teman-teman. Ini tentang berkembang, tentang kehidupan yang sejahtera dalam segala aspek.

Tapi kita harus jujur di sini. Kita masih hidup di dunia yang belum sepenuhnya dipulihkan. Kita masih melihat perang, kemiskinan, ketidakadilan, penyakit. Penggenapan penuh dari nubuat Zakharia menunggu kedatangan Kristus yang kedua kali. Pada saat itulah pemerintahan damai-Nya akan meluas ke seluruh bumi. Pada saat itulah tidak akan ada lagi air mata, tidak akan ada lagi penderitaan.

Jadi apa yang harus kita lakukan sementara kita menunggu? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting. Dan jawabannya terletak dalam bagaimana kita merayakan masa Adven ini—masa penantian kedatangan Kristus. Pertama, kita dipanggil untuk menghadirkan Raja yang Adil dalam kehidupan kita. Ini berarti kita harus meneladani kerendahan hati-Nya. Di tempat kerja, ketika kita diperlakukan tidak adil, bagaimana kita merespons? Di rumah, ketika ada konflik dengan pasangan atau anak-anak, apakah kita memilih kemenangan atau rekonsiliasi? Di gereja, ketika ada perbedaan pendapat, apakah kita mempromosikan kesatuan atau perpecahan?

Kedua, kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai. Raja kita datang untuk melenyapkan peperangan dan perselisihan. Dia menyatukan Efraim dan Yehuda yang sudah terpecah berabad-abad. Kita hidup di zaman di mana polarisasi semakin parah. Politik memecah belah keluarga. Perbedaan pendapat mengakhiri persahabatan. Media sosial membuat kita semakin terpecah. Tapi sebagai pengikut Kristus, kita harus menjadi agen rekonsiliasi. Kita harus menjadi jembatan, bukan tembok. Kita harus membawa dibbēr shālôm—berita damai—ke dunia yang penuh dengan permusuhan.

Minggu lalu, saya berbicara dengan seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak bicara dengan saudaranya sendiri karena masalah warisan. Ketika saya menanyakan apakah dia ingin memperbaiki hubungan itu, dia berkata, "Saya ingin, tapi saya tidak mau mengalah dulu." Dan di situlah masalahnya, saudara-saudari. Kita menunggu orang lain untuk mengambil langkah pertama. Kita menunggu orang lain untuk merendahkan diri. Tapi Raja kita? Dia yang adalah Allah, Pencipta alam semesta, mengambil langkah pertama. Dia merendahkan diri, menunggang keledai, dan bahkan mati di kayu salib. Untuk kita. Bayangkan.

Ketiga, kita dipanggil untuk hidup dengan pengharapan yang teguh. Kembali ke "kota benteng"—kembali kepada Tuhan—bahkan ketika situasi tampak tidak mungkin. Percaya bahwa Dia sanggup memberikan restitusi ganda, bahwa apa yang sekarang tampak sebagai kerugian akan diubah menjadi berkat yang melimpah. Ini bukan optimisme yang naif. Ini adalah iman yang didasarkan pada karakter Tuhan yang setia pada perjanjian-Nya.

Saya sering berpikir tentang kata-kata "orang-orang tawanan yang penuh harapan" di ayat 12. Ini adalah kombinasi yang menarik. Mereka masih tawanan—masih dalam kesulitan—tapi mereka penuh harapan. Mereka belum sepenuhnya dibebaskan, tapi mereka sudah memiliki harapan yang teguh. Dan itulah kondisi kita sekarang, bukan? Kita masih hidup di dunia yang jatuh, kita masih menghadapi pergumulan, tapi kita memiliki harapan karena kita tahu akhir dari cerita ini. Kita tahu Raja kita akan datang kembali untuk menyelesaikan apa yang telah Dia mulai.

Terakhir, kita harus hidup dengan kesadaran bahwa kita adalah permata mahkota. Anda adalah milik yang sangat berharga di mata Tuhan. Tidak peduli apa yang Anda rasakan tentang diri Anda sendiri. Tidak peduli apa yang orang lain katakan tentang Anda. Tidak peduli berapa kali Anda gagal atau jatuh. Di mata Tuhan, Anda adalah natsats—permata yang berkilauan, kebanggaan-Nya. Hidup dengan identitas ini akan mengubah bagaimana Anda memandang diri sendiri dan bagaimana Anda berinteraksi dengan orang lain.

Saudara-saudari yang terkasih, ketika kita menutup renungan kita pagi ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengambil langkah konkret. Mungkin ada hubungan yang perlu Anda perbaiki. Ambil langkah pertama minggu ini, bahkan jika itu berarti Anda harus merendahkan diri. Mungkin ada area dalam hidup Anda di mana Anda merasa putus asa. Kembalilah ke "kota benteng"—kembalilah kepada Tuhan dalam doa, dalam membaca Firman, dalam persekutuan dengan umat-Nya. Percayalah bahwa Dia sanggup memberikan pemulihan yang melimpah. Mungkin ada konflik di sekitar Anda—di keluarga, di tempat kerja, di komunitas—di mana Anda bisa menjadi pembawa damai. Pilih untuk menjadi agen rekonsiliasi, bukan perpecahan.

Dan yang paling penting, hiduplah dengan konsistensi dalam menantikan kedatangan-Nya kembali. Raja kita sudah datang sekali—rendah hati, menunggang keledai, untuk menebus kita. Dan Dia akan datang lagi—sebagai Raja yang berkuasa, untuk menegakkan kerajaan-Nya yang kekal. Sementara kita menunggu, tetaplah setia. Tetaplah taat. Tetaplah hidup dalam keadilan dan damai. Karena ketenangan, kedamaian, dan sukacita sejati hanya ada di dalam Kristus.

Lihatlah, Rajamu datang kepadamu. Ia adil dan jaya. Dia sudah datang. Dia akan datang lagi. Mari kita hidup sebagai umat yang mencerminkan karakter Raja kita—rendah hati, pembawa damai, penuh harapan, dan berkilauan sebagai permata mahkota-Nya di dunia yang gelap ini. Amin.