Orang Bertobat dengan Melakukan Keadilan dan Kebenaran Pasti Hidup
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Bayangkan sebuah kota kuno yang dikelilingi tembok tinggi. Di atas menara pengawas, seorang penjaga berdiri dengan mata yang tak pernah lelah memandang cakrawala. Tugasnya sederhana namun krusial: membunyikan sangkakala ketika bahaya mendekat. Nyawa seluruh kota bergantung pada kesetiaannya. Jika ia tertidur atau memilih bungkam, darah penduduk kota akan dituntut dari tangannya. Namun jika ia membunyikan peringatan dan penduduk mengabaikannya, maka mereka sendiri yang bertanggung jawab atas nasib mereka.
Gambaran dramatis ini bukanlah sekadar metafora kuno yang terkubur dalam debu sejarah. Ini adalah potret yang Allah lukiskan kepada nabi Yehezkiel di tengah pembuangan Babel, ketika bangsa Israel tenggelam dalam keputusasaan kolektif. Mereka adalah bangsa yang hancur, bukan hanya secara fisik karena kehilangan tanah air, tetapi lebih dalam lagi—hancur secara spiritual karena merasa tertindih oleh beban dosa yang tak terangkat. Dalam kegelapan itulah Allah berbicara melalui Yehezkiel pasal 33, menyampaikan pesan yang menggetarkan jiwa: "Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya, supaya ia hidup."
Pernyataan ilahi ini bagaikan petir yang membelah langit kelam keputusasaan. Allah yang sama yang telah menghukum Yerusalem dengan pedang dan pembuangan, kini menawarkan sesuatu yang radikal—reversibilitas nasib. Tidak ada takdir yang terkunci. Tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni. Tidak ada kebenaran masa lalu yang menjamin masa depan. Yang ada hanyalah momen ini, keputusan hari ini, pilihan untuk berbalik atau tetap melangkah di jalan yang sama.
Saudara-saudari yang terkasih, kita hidup di zaman yang berbeda tetapi menghadapi krisis yang serupa. Kita mungkin tidak berada di pembuangan Babel secara fisik, tetapi berapa banyak di antara kita yang merasa terbuang dari hadirat Allah karena beban masa lalu? Berapa banyak yang merasa terjebak dalam lingkaran dosa yang sama, yakin bahwa tidak ada jalan keluar? Atau sebaliknya, berapa banyak yang merasa aman dalam identitas religius mereka, percaya bahwa label "Kristen" atau "orang beriman" sudah cukup untuk menjamin keselamatan tanpa perlu transformasi karakter?
Yehezkiel 33 menghancurkan kedua ilusi tersebut dengan kebenaran yang membebaskan sekaligus menuntut. Mari kita selami kedalaman pesan ini, karena di dalamnya terkandung kunci kehidupan yang sesungguhnya.
Pertama, Allah menetapkan prinsip tanggung jawab yang tidak dapat dinegosiasikan. Yehezkiel dipanggil sebagai tzofeh, penjaga rohani bagi bangsanya. Tugasnya bukan sekadar menyampaikan kabar baik yang menyenangkan telinga, tetapi membunyikan peringatan yang mungkin tidak ingin didengar. "Hai orang jahat, engkau pasti mati!" Kata-kata ini keras, menusuk, tidak populer. Namun inilah kasih yang sejati—kasih yang berani mengatakan kebenaran demi menyelamatkan jiwa.
Dalam konteks kita hari ini, setiap orang percaya dipanggil menjadi penjaga bagi sesamanya. Kita hidup di era yang mengagungkan toleransi tanpa batas, di mana mengatakan dosa sebagai dosa dianggap tidak sopan, bahkan fanatik. Namun Yehezkiel mengingatkan kita bahwa diam di hadapan kejahatan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kasih. Jika kita melihat saudara kita berjalan menuju jurang dan kita memilih bungkam demi menjaga hubungan baik, darahnya akan dituntut dari tangan kita. Ini bukan tentang menghakimi dengan arogansi, tetapi tentang mengasihi dengan keberanian untuk mengatakan kebenaran.
Namun tanggung jawab tidak berhenti pada penjaga. Setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk merespons peringatan. Di sinilah kita menemukan inti revolusioner dari pesan Yehezkiel: nasib seseorang tidak ditentukan oleh sejarah masa lalunya, tetapi oleh pilihan masa kininya. Orang benar yang telah bertahun-tahun hidup dalam kesalehan, jika berbalik kepada kejahatan, kebenaran masa lalunya tidak akan menyelamatkannya. Sebaliknya, orang fasik yang telah menghabiskan hidupnya dalam dosa, jika bertobat dan melakukan keadilan serta kebenaran, ia pasti hidup.
Prinsip ini menghancurkan dua bentuk kesombongan spiritual yang masih kita temui hari ini. Yang pertama adalah kesombongan religius—keyakinan bahwa karena kita sudah dibaptis, sudah menjadi anggota gereja, sudah melayani bertahun-tahun, maka kita aman. Yehezkiel mengingatkan bahwa tidak ada "tabungan kesalehan" yang dapat kita andalkan. Kesetiaan adalah perjalanan sehari-hari, bukan prestasi masa lalu yang dapat kita pajang seperti piala di lemari.
Yang kedua adalah keputusasaan fatalistik—keyakinan bahwa kita sudah terlalu jauh jatuh, terlalu banyak berdosa, terlalu rusak untuk dipulihkan. Kepada jiwa-jiwa yang hancur ini, Allah bersumpah demi diri-Nya sendiri: "Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik." Perhatikan intensitas pernyataan ini. Allah Yang Mahakuasa, yang tidak perlu bersumpah kepada siapa pun, memilih bersumpah demi nama-Nya sendiri untuk meyakinkan kita bahwa Dia menginginkan pertobatan kita, bukan kehancuran kita.
Tetapi—dan ini adalah "tetapi" yang krusial—pertobatan yang Allah terima bukan sekadar pengakuan verbal atau perasaan menyesal. Yehezkiel 33:15 memberikan definisi pertobatan yang konkret dan terukur: mengembalikan gadaian, mengganti yang dirampas, hidup menurut ketetapan yang memberi hidup tanpa berbuat curang. Dengan kata lain, pertobatan sejati harus menghasilkan mishpat u'tzedakah—keadilan dan kebenaran.
Mishpat berbicara tentang keadilan retributif, tentang memulihkan apa yang telah dirusak, tentang menegakkan hukum dan ketertiban. Ini adalah tindakan mengembalikan gadaian yang telah diambil secara tidak adil, mengganti kerugian yang telah ditimbulkan, meminta maaf kepada yang telah disakiti. Mishpat menuntut kita untuk tidak hanya merasa buruk tentang dosa kita, tetapi aktif memperbaiki kerusakan yang telah kita timbulkan.
Tzedakah melangkah lebih jauh. Ini bukan hanya tentang tidak berbuat jahat, tetapi aktif berbuat baik. Tzedakah adalah kebenaran yang distributif, yang peduli pada kesetaraan dan martabat sesama. Ini adalah tindakan memberi makan yang lapar bukan karena mereka meminta, tetapi karena mereka adalah gambar Allah. Ini adalah memperjuangkan keadilan bagi yang tertindas bukan karena kita akan mendapat pujian, tetapi karena Allah menuntutnya.
Kombinasi mishpat u'tzedakah ini membentuk bukti pertobatan yang tidak dapat dipalsukan. Anda tidak dapat mengklaim telah bertobat jika masih menahan gaji karyawan. Anda tidak dapat mengatakan telah berbalik kepada Allah jika masih menyimpan dendam dan menolak rekonsiliasi. Anda tidak dapat menyatakan diri sebagai pengikut Kristus jika hidup Anda tidak menghasilkan buah keadilan dan belas kasihan.
Ini adalah standar yang tinggi, bahkan mungkin terasa mustahil. Namun di sinilah janji Allah menjadi sangat berharga: "ia pasti hidup." Kata "pasti" dalam bahasa aslinya membawa kepastian absolut. Ini bukan probabilitas atau kemungkinan, tetapi jaminan ilahi. Mereka yang bertobat dengan melakukan keadilan dan kebenaran tidak mungkin tidak hidup.
Tetapi apa artinya "hidup" dalam konteks ini? Bagi orang Israel di pembuangan, ini pertama-tama berarti kelangsungan hidup fisik dan pemulihan komunal. Mereka akan selamat dari pedang, dipulihkan ke tanah mereka, dibangun kembali sebagai bangsa. Namun makna "hidup" jauh melampaui kelangsungan biologis. Ini adalah hidup dalam shalom Allah—kedamaian yang utuh, relasi yang dipulihkan, tujuan yang ditemukan kembali.
Bagi kita hari ini, janji "hidup" ini memiliki dimensi yang lebih dalam lagi. Ini adalah hidup yang Yesus janjikan ketika Dia berkata, "Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." Ini adalah hidup yang dimulai sekarang dan berlanjut hingga kekekalan. Hidup yang tidak lagi dikuasai rasa bersalah masa lalu atau ketakutan masa depan. Hidup yang menemukan makna dalam melayani Allah dan sesama. Hidup yang bahkan kematian fisik tidak dapat padamkan.
Namun Israel merespons janji luar biasa ini dengan keluhan: "Tindakan Tuhan tidak adil!" Mereka menginginkan Allah yang dapat diprediksi, yang terikat pada sistem merit yang kaku. Jika seseorang sudah benar selama 40 tahun, bukankah tidak adil jika satu kesalahan menghapus semua kebaikannya? Jika seseorang jahat seumur hidup, bukankah tidak adil jika pertobatan di detik terakhir menyelamatkannya?
Allah menjawab dengan tegas: "Kamulah yang tidak adil!" Ketidakadilan sejati adalah menginginkan Allah yang dapat dimanipulasi, yang dapat "dibeli" dengan perbuatan baik masa lalu atau status religius. Allah yang adil adalah Allah yang menilai setiap orang berdasarkan keadaan hatinya saat ini, yang menawarkan kesempatan baru setiap hari, yang tidak pernah menutup pintu pertobatan selama nafas masih ada.
Saudara-saudari, pesan Yehezkiel 33 sangat relevan untuk gereja modern yang sering terjebak dalam dua ekstrem. Di satu sisi, ada mereka yang mempraktikkan anugerah murahan—grace without discipleship—yang mengkhotbahkan pengampunan tanpa pertobatan, kasih tanpa kebenaran, surga tanpa transformasi. Kepada mereka, Yehezkiel berteriak: pertobatan tanpa mishpat u'tzedakah adalah ilusi!
Di sisi lain, ada mereka yang mempraktikkan legalisme mati—law without grace—yang mengukur spiritualitas dengan daftar peraturan, yang lebih peduli pada penampilan luar daripada transformasi hati. Kepada mereka, Yehezkiel menyatakan: kebenaran masa lalu tanpa kesetiaan masa kini adalah kesia-siaan!
Jalan Allah adalah jalan ketiga—jalan kasih karunia yang menuntut transformasi, jalan pengampunan yang menghasilkan keadilan, jalan iman yang berbuah dalam perbuatan. Ini adalah jalan yang sulit tetapi menjanjikan hidup. Jalan yang sempit tetapi menuju kepada kelapangan.
Hari ini, Allah memanggil kita untuk memeriksa diri. Di manakah kita berdiri? Apakah kita adalah penjaga yang setia, yang berani menyuarakan kebenaran meski tidak populer? Apakah kita mendengar peringatan dan merespons dengan pertobatan sejati? Apakah hidup kita menghasilkan mishpat u'tzedakah yang menjadi bukti iman kita?
Jika Anda merasa terbebani oleh dosa masa lalu, dengarlah sumpah Allah: Dia tidak menginginkan kematian Anda. Dia menginginkan pertobatan Anda. Tidak peduli seberapa dalam Anda telah jatuh, pintu pertobatan masih terbuka. Namun pertobatan ini harus nyata—kembalikan apa yang telah Anda curi, minta maaf kepada yang telah Anda sakiti, ubah cara hidup Anda.
Jika Anda merasa aman dalam religiositas Anda, dengarlah peringatan Allah: kebenaran masa lalu tidak menjamin masa depan. Setiap hari adalah ujian baru. Setiap pilihan adalah kesempatan untuk membuktikan kesetiaan atau pengkhianatan. Jangan bersandar pada prestasi spiritual masa lalu, tetapi hiduplah dalam ketaatan aktif hari ini.
Pesan Yehezkiel 33 adalah pesan harapan radikal dan tanggung jawab total. Tidak ada yang terlalu hancur untuk dipulihkan, tetapi juga tidak ada yang terlalu saleh untuk jatuh. Nasib kita tidak ditentukan oleh masa lalu tetapi oleh pilihan masa kini. Dan pilihan untuk hidup—hidup yang sesungguhnya, hidup yang berkelimpahan, hidup yang kekal—tersedia bagi setiap orang yang bertobat dengan melakukan keadilan dan kebenaran.
Kiranya kita semua memilih hidup. Kiranya pertobatan kita menghasilkan mishpat u'tzedakah yang menjadi kesaksian bagi dunia. Kiranya hidup kita menjadi bukti bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang adil sekaligus pengasih, yang kudus sekaligus penyayang, yang menuntut segalanya tetapi juga memberikan segalanya. Karena mereka yang bertobat dengan melakukan keadilan dan kebenaran, pasti hidup. Ini bukan sekadar harapan. Ini adalah jaminan dari Allah yang setia pada janji-Nya.